13.10.08

When Love is NOT Enough

Handphone-ku bergetar.

Dengan enggan kubaca nama penelponnya. Private
number..
Setelah beberapa saat aku menimang-nimang,
akhirnya kuputuskan untuk mengangkat telpon itu.

"Hallo." sapaku.

"Hallo Ca, ini Rosa."

"Rosa?" ucapku agak terkejut.

"Sudah terima undangannya?" tanya Rosa agak
terburu-buru. Suasana hiruk pikuk di sekitarnya
terdengar samar-samar.

"Undangan?" Buru-buru aku berjalan ke arah meja
ruang tamu, menahan rasa pusing yang langsung muncul
ketika aku bangun dari tempat tidur, langsung
mencari-cari undangan yang disebut oleh Rosa.
Ternyata house-mateku menaruhnya di bawah tumpukan
koran.

"Iya, aku post beberapa hari yang lalu. Harusnya
sudah sampai tadi pagi."

"Oh, iya.. ada nih.. Undangan siapa sih ini?"
kubuka undangan itu dan terkesiap melihat nama
pengantin perempuannya. "Rosa! Kamu mau married?
Kenapa nggak pernah cerita di email? Ngagetin
banget.." aku masih belum pulih dari keterkejutanku.
Kulihat nama pengantin prianya, memang pria yang
Rosa pacari dua tahun terakhir ini.

Rosa tertawa senang mendengar keterkejutanku. "Ca,
itu undangan belum disebar loh.. Aku kasih kamu
duluan sekalian bikin kejutan supaya kamu orang luar
pertama yang tahu.." ucapnya senang.

"Ya ampun Sa.. Kamu hampir bikin aku jantungan,
tau nggak?" ucapku tanpa bisa menyembunyikan
kesenangan yang juga aku rasakan saat itu.

"Ca, aku lagi buru-buru nih.. Nanti aku kirim
e-mail lagi yah.." Lalu Rosa mengakhiri percakapan
singkat kami.

Aku merebahkan diriku di atas sofa. Kupandangi
lagi undangan yang masih kupegang. Rosa.. berapa
umurnya sekarang? 23? Waktu memang cepat sekali
berlalu.. Aku sendiri sudah 27 tahun.. Sudah bisa
kutebak reaksi mama kalau tahu tentang hal ini
nanti. Pernikahan Rosa memang alasan yang tepat
untuk menyuruhku cepat-cepat cari pacar dan menikah.
Aku tahu maksud baik mama.. tapi entah mengapa hati
ini masih tidak bisa untuk menerima cinta yang lain.
Hati ini seolah-olah masih diikat olehnya, oleh pria
yang selalu ada di setiap sudut benakku, yang berada
nun jauh di sana.. Umurku kira-kira sama dengan Rosa
waktu papa mama mengenalkanku dengannya. Aku sedang
kuliah tahun terakhir saat itu. Ia sedang liburan di
Jakarta, dan orang tuanya yang merupakan teman baik
orang tuaku membawanya ke rumah kami. Aku masih
ingat kesan pertama yang kudapat sewaktu melihatnya.
Tampan namun angkuh.

Bianca, kenalan sini sama Jason." Aku baru saja
pulang dari kampus waktu mama memanggilku. Aku duduk
di sebelah mama dan mengulurkan tanganku kepada
laki-laki yang dimaksud mama itu.

"Bianca" ucapku singkat. "Jason" ia membalas
uluran tanganku singkat lalu melepaskannya lagi.
"Bianca, Jason ini lagi liburan dari Sydney. Kuliah
kamu kan juga sebentar lagi libur, bisa kan kamu
temenin Jason kalau dia mau jalan-jalan?" Aku
menatap mama heran karena permintaan mama terdengar
janggal sekali.

"Ok" jawabku singkat, malas memperpanjang
percakapan di depan orang yang tidak kukenal.
"Jason, kamu catet donk nomor telponnya Bianca.."
mama Jason tiba-tiba angkat bicara. Aku baru ingat
bahwa aku belum berkenalan dengan dua orang lagi
yang duduk di sebelah Jason. Buru-buru aku berdiri
dan menyalami mereka. "Kayaknya kita yang tua-tua
ngobrol di belakang aja yuk.." papa lalu membawa
orang tua Jason ke taman belakang, meninggalkanku
dan Jason berduaan. Sejujurnya aku merasa canggung
sekali karena aku memang bukan

orang yang mudah bergaul.
"Bianca.." panggilannya membuatku sedikit
terkejut. "Ya?" Ia lalu melambai-lambaikan
handphone-nya. Nomormu?" tanyanya singkat seraya
memberikan benda itu kepadaku. "Oh.." jawabku gugup.
Kusimpan nomor handphone-ku di memori buku
telponnya.

"Kamu miss call ke handphone kamu aja supaya kamu
juga punya nomorku" ucapnya sewaktu aku hendak
mengembalikan handphone-nya. "Oh.." ucapku lagi. Aku
benar-benar merasa bodoh sekali. Malu mungkin lebih
tepat.

Lalu kudengar tawanya meledak. Aku menatapnya
heran. "Untung mama kamu dah bilang kalau kamu
anaknya pendiam dan pemalu.." ucapnya sambil
mengacak-acak rambutnya sendiri yang kecoklatan.

Aku dapat merasakan pipiku memerah saat itu.
Anaknya ternyata cukup menyenangkan, tidak angkuh
seperti yang aku bayangkan. Kami ngobrol cukup lama.
Walaupun aku agak kaku pada awalnya, ia berhasil
membuat suasana lebih santai dengan cerita-cerita
konyolnya.

Jason Tjiputra. Ia besar di Sydney dan jarang
pulang ke Jakarta. Ia sudah menyelesaikan kuliahnya
dan sedang mencoba mencari pekerjaan. Papanya
sebenarnya menginginkan ia membantu usaha keluarga
mereka namun ia bersikeras ingin mencari pengalaman
dulu di sana. Sementara ia menunggu lamarannya
diterima, ia pulang kembali ke tanah air.

Dimulai dengan telpon-telponan tiap malam dan
sesekali pergi bersama keluarganya, kami mulai jadi
dekat. Sekali waktu, Ia bahkan nekat menjemputku di
kampus. Sesuatu yang membuat geger anak-anak di
kampusku. Kejadian itu masih segar dalam ingatanku,
karena pada hari yang sama itulah, sesuatu merubah
hidupku. Ia bersandar ke mobil mewahnya dengan
gayanya yang angkuh. Tangannya dimasukkan ke saku
celananya dan dari balik kacamata hitamnya, matanya
seperti sibuk mencari-cari sesuatu. Aku hampir tidak
percaya ketika melihatnya di lapangan parkir kampus
sore itu. Buru-buru aku menghampirinya.

"Jason? Ngapain di sini?" sapaku sambil tertawa
kecil, menyembunyikan rasa grogiku. "Ca, aku mau
ajak kamu jalan." Ucapnya dengan senyum lebar
tersungging di bibir merahnya. Aku terkesiap
mendengarnya. Ini pertama kalinya dia mengajakku
pergi berdua saja. Aku melirik ke mobilnya,
mecari-cari supirnya. "Supirnya mana?" tanyaku
polos.

"Aku yang nyetir donk!" ucapnya bangga. "Hah?
Nggak mau ah.. Kamu kan nggak bisa nyetir di sini.."
sahutku
pura-pura panik. "Jangan takut, aku dah latihan
dari kemaren.." ia lalu berjalan melewatiku dan
membukakan pintu mobil untukku. "Silahkan masuk,
tuan putri." Aku bisa merasakan tatapan-tatapan yang
tertuju padaku saat itu.

Bagaimana tidak, sore itu lapangan parkir sedang
ramai-ramainya dan tiba-tiba saja ia datang dengan
semua keglamourannya. Ditambah lagi statusku yang
memang kurang mengenakkan di kampus ini. Merasa
tidak enak, aku memilih untuk buru-buru masuk ke
mobil sebelum mereka menganggap aku sedang pamer
cowok.



"Kok diem aja Ca?" tanya Jason sedikit tidak enak.
"Lain kali nggak usah jemput aku.." jawabku pelan.
"Kenapa sih memangnya? Nggak enak ama anak-anak di
kampus? Biarin aja ah.." sahut Jason cuek. Ia sibuk
mencari-cari lagu yang bagus dari CD changernya.

"Nanti aku diomongin yang macem-macem.."

"Diomongin apa sih?" tanyanya, kali ini agak lebih
serius. "Yah.. apa kek gitu.. Kamu kan tahu
bagaimana sikap mereka sama aku.. Mereka tuh nggak
suka sama aku.." jawabku, agak sedikit sedih
mengingat-ingat celaan apa saja yang pernah
ditujukan kepadaku..

"Mereka cuma sirik sama kamu.. Udah pinter, kaya,
cakep lagi.. Plus dijemput ama cowok keren begini..
Kayaknya emang mereka bakalan makin sebel sama kamu
sih.." Tanpa kusadari, aku tersenyum sendiri
mendengar ucapannya. Entah kenapa, Jason bisa
membuatku merasa dihargai dan berarti meskipun ia
tidak pernah mengatakannya secara langsung



Jason adalah orang pertama yang bisa membuatku
merasa bahagia seperti ini. Sejak kecil, sikapku
yang tertutup dan pemalu membuat orang-orang
berpikir bahwa aku ini sombong. Bahkan sebelum
mengenalku pun, mereka sudah memasang tatapan tidak
suka ketika melihatku. Penampilanku juga sebenarnya
biasa saja tapi selalu ada yang dikritik oleh
mereka. Sok pamer lah, sok cakep lah, atau sok
sopan. Seraya bertambah dewasa, orang-orang mulai
selalu menguhubungkanku dengan orang tuaku yang
terkenal. Nilai-nilaiku yang bagus karena hasil
kepintaranku sendiri juga selalu diragukan. Sikap
dosen yang menghormatiku dikatakan semata-mata hanya
karena ingin menjilat.

Aku tidak pernah benar-benar punya teman. Yang
selalu menemaiku hanyalah gunjingan dari mereka yang
tidak menyukaiku. Aku tidak pernah mengerti
alasannya..



Sore itu Jason mengajakku ke mall. Ia memintaku
menemaninya berbelanja. "Ca, sini sebentar.." Jason
masuk ke salah satu butik pakaian perempuan.
"Ngapain sih? Kamu mau beli baju buat mama kamu
juga?" aku hanya mengikutinya dari belakang. Ia lalu
mengambil sebuah gaun malam, menyodorkannya
kepadaku. "Cobain yang ini.."Aku menatapnya heran.
"Udahh.. ayo cepetan.." ia mendorongku ke kamar
ganti. "Jason, ini nggak cocok buat aku.."aku
mengamati gaun biru muda dengan sulaman bunga
bertebaran di bagian bawahnya. Memang manis sekali..
Jason hanya memberiku isyarat untuk diam dan segera
mencoba gaun itu. Setengah hati, aku menurutinya.

"Pas sekali.." ia berdecak kagum ketika melihatku
mengenakan gaun itu. "Saya ambil yang itu ya.." ia
lalu berkata kepada pramuniaga yang berdiri di
sampingnya. Jason memaksa membelikanku gaun itu.
Sebagai tanda terima kasihnya karena aku telah
menemainya berbelanja sore itu. Alasan yang aneh
menurutku.. Kami lalu makan malam di salah satu
restoran dan berbincang-bincang sambil menunggu
pesanan kami datang. Percapakan yang tidak pernah
aku lupakan..

"Kapan kamu balik ke Sydney?" tanyaku membuka
percakapan kami. "Kenapa? Udah bosen nemenin aku
ya?" "Eh.. bukan begitu lah.. Cuma mau tau aja.."
Jason menyenderkan tubuhnya ke kursi dan menghela
napasnya. "Sekitar satu atau dua minggu lagi..".

"Oh.." hanya itu yang keluar dari mulutku.
Ia lalu memajukan tubuhnya, mendekatkan dirinya.
"Kalau aku pergi, kamu kesepian?" ia tersenyum
nakal.
Aku sungguh tidak bisa menjawab apa-apa. Bibirku
seperti terkunci dan aku hanya bisa menunduk. Aku
juga tidak mengerti mengapa aku jadi seperti itu.
Sungguh memalukan.. "Ca, kamu suka cowok kayak apa
sih?" tanyanya mengalihkan topik, namun
pertanyaannya masih membuat jantungku berdetak
kencang.

"Aku? Uhmm.. Aku suka.." aku berpikir sebentar.
"Aku suka cowok yang mau menantiku selama seribu
tahun lamanya.." jawabku akhirnya dengan mantap. Ia
menatapku heran. "Aku tidak pernah dengar jawaban
seperti itu

sebelumnya.."
"Memangnya sudah berapa orang yang kamu tanya
seperti itu?" tanyaku memberanikan diri. Ia tertawa
ringan. Ia tidak menjawab apa-apa.

"Kalau kamu? Kamu suka yang seperti apa?" tanyaku
balik.
"Aku?" ia diam sebentar. "Aku suka cewek yang bisa
membuatku jatuh cinta padanya.." sambungnya.
"Jawabanmu lebih aneh lagi.." aku tertawa kecil,
merasa agak sedikit lepas dari kegugupanku.
Jason mengangkat bahunya cuek. "Ca, kamu lebih
cantik kalau kamu panjangin rambutmu.." ucapnya
tiba-tiba.
Kini aku yang terdiam.
"Kenapa kamu belum punya pacar?" tanyanya
kemudian. "Aku yakin banyak cowok ngantri untuk jadi
pacarmu.."
"Aku belum menemukan yang pas.." jawabku
diplomatis. "Pernah jatuh cinta?" tanyanya lagi,
menyudutkanku. "Rahasia.." jawabku malu-malu,
mengaduk-aduk minuman yang baru diantar. Walaupun
kepalaku tertunduk, aku tahu ia sedang menatapku.
Sejujurnya, saat itu aku sadar bahwa aku sudah mulai
jatuh cinta kepadanya.. Jatuh cinta untuk pertama
kalinya..



Sesampainya di depan rumahku, aku sudah hendak
membuka pintu mobil
sewaktu ia menarik tanganku, mencegahku untuk
keluar."Ada apa?" tanyaku antara bingung dan juga
malu karena aku juga menikmati sentuhan tangannya.
Ia menatapku sesaat.. beberapa detik yang terasa
begitu lama untukku. "Nggak pa-pa.. Maaf.." ia
melepaskan tanganku pelan. "Good night, sweet
dream.." senyumnya.

Aneh.. aku agak sedikit kecewa saat itu. Aku hanya
bisa membalas
senyumannya dan beranjak keluar. Lalu aku melihat
mobil ayah Jason diparkir di dalam garasi rumahku.
"Jas, itu bukannya mobil papamu?" tanyaku agak
sedikit terkejut. Jason menatap ke arah yang
kutunjuk dan ternyata ia juga sama herannya dengan
aku.

'Kamu turun aja dulu.."akhirnya kuberanikan
diriku.
Jason hanya mengangguk-angguk dan mematikan mesin
mobilnya.



Waktu kami masuk, ternyata orang tua Jason memang
sedang bertamu ke rumahku. Aku langsung duduk di
sebelah papa sementara Jason duduk sendiri terpisah.
"Abis ke mana aja kalian?" tanya mama lembut. "Tadi
Bianca nemenin Jason belanja doank kok ma.." jawabku
sambil mencuri pandang ke arah Jason. Ternyata ia
sedang menatapku juga.

Buru-buru aku mengalihkan pandanganku.

"Papa mama kok bisa kebetulan di sini juga?"
kudengar Jason angkat bicara.
"Kami memang mau ngomong sama kalian berdua.."
jawab ayahnya dengan suara agak berat. Jarang sekali
aku mendengarnya berbicara. Kulihat ia melirik ke
arah istrinya, seolah meminta istri melanjutkan
kata-katanya.

"Begini Jason.. kami lihat kalian berdua sangat
cocok sekali.." Jantungku berdegup menunggu
kata-katanya selanjutnya. Lagi-lagi aku tundukkan
wajahku.

"Jadi kami berpikir mungkin akan sangat baik kalau
kalian dijodohkan.. Setidaknya bertunangan dulu
sebelum kamu kembali ke Sydney.. Mama dan papa sudah
kenal dekat dengan orang tua Bianca. Kamu juga sudah
cukup umur untuk memulai hubungan yang serius.."

Aku merasa ini seperti mimpi, atau seperti kisah
dalam novel.. Aku baru saja jatuh cinta, untuk yang
pertama kalinya.. dan langsung dijodohkan..
Segalanya yang kudengar seperti tidak nyata. Sekuat
tenaga kutahan diriku untuk tidak bersorak
kegirangan. Lalu aku memberanikan diri menatap ke
arah Jason.

Tidak seperti yang kuduga, kulihat raut wajahnya
berubah. Tidak ada tanda-tanda kebahagiaan di sana..
Wajah itu menjadi keras dan angkuh, tepat seperti
waktu aku pertama kali melihatnya. Hatiku seperti
ditusuk melihat reaksinya..

Jason lalu berdiri dari duduknya. "Aku minta waktu
untuk berpikir.." ia pun beranjak pergi begitu saja.
Menoleh ke arahku pun tidak. Duniaku serasa gelap
saat itu. Aku tidak mau tahu apa yang terjadi. Yang
kuingat, aku berlari ke kemarku dan mengunci diriku
di sana. Semalaman itu aku menangis sendiri..
Ternyata Jason sama dengan yang lainnya..





Sudah tiga hari Jason tidak menghubungiku semenjak
kejadian itu. Aku
juga tidak pernah mencoba menghubunginya ataupun
menanyakan tentangnya kepada orang tuaku. Mereka
sendiri tampaknya juga kecewa dengan sikap Jason
malam itu. Sejujurnya, aku sudah merasa malu dan
putus asa.. Aku berpikir ia mempunyai perasaan yang
sama.. Kalau tidak, mengapa ia begitu baik padaku?
Mengapa ia selalu memberi perhatian lebih padaku?
Ah.. pertanyaan yang tidak ada ujungnya.. Lebih baik
kupendam semuanya sendiri, bersama dengan air mata
yang hampir kering ini..





Aku hampir tidak percaya ketika melihat nama Jason
tertera di layar handphone-ku sore itu.. Aku ingin
sekali menjawab telpon itu tapi ada sesuatu dalam
diriku yang mencegahnya. Kebimbangan terus
berkecamuk dalam hatiku sampai akhirnya telpon itu
terputus. Kumaki diriku sendiri dan kusesali diriku
karena tidak mengangkat telpon darinya.

Kupandangi layar handphoneku terus menerus,
berharap ia akan menelponku lagi. Ternyata harapanku
membuahkan hasil. Tidak lama ia menelponku lagi.
Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengangkatnya.

"Hallo.." ucapku pelan dan agak berhati-hati.
"Ca, pakai gaun biru yang kita beli sama-sama
untuk Sabtu depan.."
"Apa??" tanyaku kebingungan, kaget dengan ucapan
Jason yang tanpa basa-basi itu. Kupikir ia akan
meminta maaf tentang kejadian waktu itu.

"Sabtu depan kita tunangan.." kebingunganku sirna,
diganti oleh rasa terkejut dan sedikit khawatir.
"Jas.. kayaknya kita perlu bicara lagi.. Kamu
harus jelasin kenapa.."

"Aku mencintaimu." potongnya cepat sebelum aku
menyelesaikan kalimatku.
Aku terdiam sesaat. Setelah itu, hanya isakan
tangisku yang terdengar. Ia juga diam seribu bahasa.
Bibir kami sama-sama terkunci saat itu.. Tidak lama
ia datang ke rumahku.

Sewaktu aku turun dari kamar, kulihat ia sedang
duduk di ruang tamu menantiku. Aku menatapnya dari
belakang. Rasanya aku bisa mendengar detak jantungku
sendiri saat itu. Pelan-pelan kuhampiri dia dan
duduk di hadapannya dengan tatapan yang menghindar
darinya.

Di luar dugaanku, ia menghampiriku, bersujud di
dekat kakiku dan meraih tanganku.
"Sudikah kau bertunangan denganku, Bianca
Fransesca Prananto?" ia mengecup tanganku lembut
lalu menyelipkan sebuah cincin ke dalam genggaman
tanganku.

Aku bisa merasakan air mataku kembali menetes dari
mataku yang sembab. Tapi kini seuntai senyuman
menghiasi wajahku. Ia lalu bangkit dan memelukku.

"Maaf.." kudengar ia berbisik pelan

Suasana sore itu begitu tenang dan damai. Aku dan
Jason baru saja pulang dari mengurus beberapa
keperluan untuk pesta pertunangan kami. Sebenarnya
mama Jason sudah mengurus semuanya, lagipula tidak
terlalu banyak yang diurus mengingat pesta ini hanya
dihadiri oleh keluarga dan teman dekat saja. Namun
Jason bersikeras ingin ikut campur dalam segala
persiapannya. Hari ini sudah hari Senin. Lima hari
lagi adalah hari pertunangan kami. Terus terang, aku
merasa ini semua berlangsung terlalu cepat.

"Kok ngelamun, Ca?" Jason menyentuh tanganku
lembut sambil masih berkonsentrasi menyetir.
Aku mengalihkan pandanganku yang sedari tadi
memandang ke luar jendela.
"Aku cuma merasa ini tidak nyata.. Semuanya
terlalu cepat.. Maksudku, kita baru berkenalan belum
sampai dua bulan tapi kita sudah akan bertunangan
lima hari lagi.."

"Kita kan hanya bertunangan, belum menikah..
Pertunangan ini kan hanya sebagai tanda ikatan
antara kita berdua mengingat aku harus kembali ke
Sydney minggu depan.. Kita masih punya banyak waktu
untuk saling mengenal.. Kita tokh tidak perlu
buru-buru menikah kan? Atau jangan-jangan kamu dah
nggak sabar ya?" pertanyaannya membuat pipiku
bersemu merah. Aku kembali mengalihkan pandanganku
ke luar jendela.

"Jas, kamu belum menjawab pertanyaanku dulu.."
ucapku memberanikan diri.
"Pertanyaan yang mana, Ca?"
"Kenapa malam itu reaksimu seperti itu?" aku
kembali mengungkit persoalan malam ketika ia secara
tidak langsung menolak perjodohan kami. Ia selalu
menghindar setiap kali aku mencoba menanyakannya.
Jason menghela napasnya, seolah merasa bosan dengan
pertanyaanku. "Apa itu masih penting sekarang?"

"Masih.. Karena aku ingin tahu apa yang membuatmu
ragu?" paksaku.
"Hmm.. entah lah.. Life is complicated.."
jawabannya masih penuh teka-teki. "Sudah lah.. Aku
mohon, jangan bahas ini lagi.."

Aku tidak mengucapkan apa-apa lagi. Tampaknya
percuma saja..Lagipula memang tidak ada gunanya aku
tahu, hal itu tidak akan mengubah apapun. Jadi,
kukesampingkan egoku dan membuang keingintahuan
itu..

"Besok kita jemput Rosa, kamu nggak lupa kan?" Aku
hanya mengangguk.



Rosa adalah adik Jason yang juga tinggal di
Sydney. Aku hanya pernah melihat fotonya di foto
keluarga yang dipajang di rumah mereka. Rosa adalah
satu-satunya saudara yang dimiliki Jason. Setidaknya
itu masih lebih baik dariku yang hanya sendirian.
Sejujurnya, aku sangat mengharapkan memliki seorang
saudara perempuan dan aku berharap Rosa bisa
menerimaku.

Ketika bertemu dengan Rosa di airport, ia ternyata
jauh lebih cantik dari yang di foto. Tepat seperti
yang kubayangkan, anaknya lincah dan enerjik,
membuat suasana di sekitarnya selalu meriah.
Sebentar saja aku sudah akrab dengan Rosa. Banyak
kecocokan di antara kami walaupun dia lebih kecil
sekitar empat tahun dariku.

"Wahhh. kalian deg-degan nggak nih besok sudah mau
tunangan?" goda Rosa saat kami makan malam bertiga.
Sebenarnya Rosa ingin aku melewatkan malam tersebut
hanya berduaan dengan kakaknya namun aku yang
memaksanya untuk ikut.

"Bukan deg-degan tapi sedih, Sa.."
jawabku."Sedih?" tanya Jason kaget, membuatku dan
Rosa tersenyum geli.
"Gimana nggak sedih? Mana ada orang yang baru
tunangan dua hari langsung ditinggal?" sahut Rosa
seperti bisa membaca pikiranku.

"Ohh.. aku ke Sydney kan bukan buat selamanya.."
"Kenapa sih kamu nggak batalin tawaran kerja di
Sydney dan kerja sama papa aja?" aku agak sedikit
terkejut dengan pertanyaan Rosa yang agak
blak-blakan walaupun pertanyaan itu pernah juga
terlintas dalam pikiranku.

Jason terdiam sebentar. "Aku kan sudah pernah
bilang alasannya.."
"Tapi itu sebelum kamu bertemu dengan Bianca kan?"

"Prinsipku tidak bisa diubah.." dari nada
bicaranya tersirat Jason tidak ingin melanjutkan
percakapan itu.
Rosa menghela napasnya dan menatapku. "Ca, kamu
harus awasin bener-bener kakakku ini.. Hati-hati,
cewek yang ngejar dia ada segudang.." candanya.

"Harusnya aku yang minta tolong kamu, Sa.. Kan
kamu yang bisa ngawasin dia nanti.." balasku sambil
tertawa kecil.
Rosa lalu melirik ke arah Jason. "I'll try my
best.. We'll see.."
Entah mengapa aku merasa ada yang ganjil dengan
ucapan Rosa tapi aku tidak terlalu memperhatikannya.
Pikiranku sendiri berkecamuk dengan pertunanganku
besok.

"Ca.." Jason membuyarkan lamunanku. "Mikirin besok
yah?" sambungnya lembut.
Aku mengangguk. Rosa memegang tanganku dan
menggenggamnya erat. "Everything will be fine..
Relax.."
Jason mengangguk setuju dengan perkataan adiknya.
Lalu tiba-tiba kulihat Jason memberikan isyarat
kepada seseorang, menyuruhnya untuk datang ke meja
kami. Aku berpaling melihat siapa orang tersebut.

Ternyata seorang pemain biola. Ia menghampiri kami
dan mulai memainkan sebuah lagu. Lagu yang sangat
indah, sebuah lagu klasik yang begitu akrab di
telingaku, Moonlight Sonata.. Jason tahu aku suka
memainkan lagu itu dengan piano
kesayanganku..Wajahku langsung bersemu merah,
benar-benar kikuk rasanya berada dalam keadaan
seperti itu. Aku mencari-cari Rosa, berupaya untuk
tidak menatap Jason.. Namun tampaknya Rosa sengaja
menghilang saat itu, membiarkan diriku hanya
berduaan dengan Jason.

Aku melihat orang-orang di sekeliling restoran itu
menatap ke arahku sambil tersenyum. Aku menunduk
lagi sebelum akhirnya memutuskan untuk menoleh ke
arah Jason.

Ia memang sedang menungguku menatapnya. Ia
tersenyum simpul, sedikit terlihat menahan tawa
melihat sikapku yang malu-malu itu.. Ia lalu
mengulurkan tangannya, mengajakku berdansa. Aku
menatapnya terkejut. Aku ingin menolak namun aku
tahu berpasang-pasang mata sedang memperhatikan kami
saat itu. Akhirnya aku sambut uluran tangannya dan
kami beranjak ke lantai dansa.

Musik masih terus mengalun, samar-samar menutupi
bunyi detak jantungku. Ia mendekap tubuhku erat,
tubuh kamipun bersatu, bergerak perlahan.. terbawa
suasana.. Beberapa pasangan juga mulai turun dan
mulai berdansa. Aku tersenyum, merasa agak sedikit
rileks. Aku menopangkan daguku di bahunya. Kudengar
ia berbisik pelan, "Terima kasih.." lalu ia mencium
telingaku lembut. Hanya dua kata yang singkat namun
membuatku merasa begitu dihargai, begitu dipuja..
dan di atas segalanya, begitu dicintai..

Aku merenggangkan pelukanku. Kuberanikan diriku
untuk menatapnya. Lalu kaki kami sama-sama terhenti.
Kami berdua berdiri mematung di tengah-tengah
pasangan-pasangan lain yang sedang berdansa. Kami
berdua bertatapan cukup lama saat itu. Melihat
tatapan matanya yang begitu dalam dan hangat, aku
yakin aku adalah gadis yang paling

beruntung di dunia ini. Aku percaya, keputusanku
untuk menerima pertunangan ini tak akan pernah
kusesali.







Pesta pertunangan kami berjalan dengan lancar.
Sejujurnya, tidak ada yang terlalu istimewa di hari
itu kecuali perasaanku. Bahagia dan terharu mungkin
tidak cukup untuk mendeskripsikannya.

Jason selalu berada di sampingku sepanjang acara
itu. Ia senantiasa menggenggam erat tanganku atau
sesekali merangkul pinggangku. Kudengar tamu-tamu
memuji kami sebagai pasangan yang sempurna. Jason
juga terus menerus memujiku yang terlihat agak
berbeda malam itu. Sedih rasanya waktu pesta itu
berakhir dan membayangkan Jason akan segera
meninggalkanku. Namun cincin yang kini terselip di
jari manisku mampu membuat hatiku agak lebih cerah.

Malam itu, Jason mencium bibirkuku untuk yang
pertama kalinya.. Ciuman yang lembut.. Tepat seperti
yang aku impikan, ciuman pertama yang membuatku
menangis sebaliknya dari tersenyum.. Jason memang
memenuhi semua anganku.. Ia terlalu sempurna
sehinggal aku merasa semua ini hanya mimpi. Ketika
Jason harus pergi dari sisiku, aku melepas
kepergiannya dengan tabah. Aku tahu tangisanku tidak
akan merubah keputusannya. Sebaliknya, aku tersenyum
karena aku tahu ia akan kembali ke sisiku.

Mungkin perpisahan sementara ini adalah yang
terbaik bagi kami berdua. Mungkin dengan begitu,
cinta yang murni bisa berkembang di antara kami.
Apabila kami bisa melewati semua ini, maka tidak ada
lagi yang bisa memisahkan kami nantinya.

"Aku nggak nyangka kamu tidak nangis.." Jason
tersenyum meledekku. Ia sudah hendak check in namun
ia minta waktu untuk bicara berdua saja denganku.

"Aku menangis di sini.." aku menunjuk hatiku.
Kurasakan suaraku bergetar saat mengucapkannya.
Jason menarik tubuhku mendekat kepadanya. Ia lalu
sedikit membungkuk dan menempelkan keningnya di
keningku. Matanya menatapku begitu dalam seolah
ingin melihat apa yang ada di balik bola mataku.

"Terima kasih.. Seandainya kamu menangis, hatiku
juga jadi susah.." Ia lalu mengecup keningku. "Aku
pasti kembali lagi.. Jaga cinta kita.." Dan ia
memelukku begitu erat.

Kugigit bibirku kuat-kuat untuk menahan air mata
yang sudah di pelupuk mataku.
"Sudah.. ayo check in sana.. Rosa udah nungguin..
Nanti langsung telpon aku yah.." kulepas pelukannya
dan kucoba mengucapkan kata perpisahan dengan nada
ceria..

Ia tersenyum dan mengangguk pasti. Ia lalu
berjalan ke arah Rosa dan mereka berdua melambaikan
tangan padaku.
Ketika mereka berdua berlalu dari pandanganku, air
mataku tumpah..






Aku dan Rosa juga masih terus berhubungan. Sadar
atau tidak, kami sudah jadi sahabat baik. Anehnya,
kami tidak terlalu banyak membicarakan Jason. Baik
aku maupun dia sama-sama tidak pernah
menyinggungnya. Aku merasa agak sungkan, lagipula
aku tidak mau Jason berpikir bahwa aku kurang
mempercayainya. Kuliahku berjalan dengan lancar. Aku
tidak terlalu merasa tertekan. Entah mengapa,
keberadaan Jason menambah kepercayaan diriku. Aku
jadi tidak terlalu minder dan berprasangka buruk
terhadap orang-orang di sekitarku. Sungguh, aku
banyak berubah. Aku lebih berani mencekati orang dan
ternyata, tidak semuanya berpandangan negatif
tentangku.. Kupikir, dulu aku hidup dalam
ketakutanku sendiri.. Aku yang tidak bisa menerima
diriku, bukan mereka.. Kini di kampus aku punya
cukup banyak teman. Aku sangat menyayangkan karena
diriku berubah di saat-saat terakhir kuliahku. Aku
jadi tidak pernah benar-benar menikmati masa kuliah.
Kadang-kadang Jason kesal karena semenjak diriku
mulai lebih terbuka, sudah ada beberapa teman
laki-lakiku yang mencoba mendekatiku. Kalau sudah
begitu, katanya aku lebih baik jadi pendiam dan
tertutup seperti dulu. Namun aku tahu ia tidak
pernah serius dengan ucapannya..

Jason juga cukup puas dengan pekerjaanya. Ia sudah
beberapa kali dapat pujian dari atasannya dan
menurutnya, sebentar lagi ia bisa naik jabatan.
Kalau sudah mendengarnya bercerita begitu seru, aku
jadi takut sendiri kalau-kalau ia tidak akan
kembali. Di sisi lain, aku bangga karena tunanganku
bukan laki-laki yang hanya bisa mengandalkan orang
tua.

Seperti yang sudah dibilang Rosa dulu, banyak
sekali gadis yang ngantri untuk mendapatkan Jason.
Bukannya cemburu, aku malah jadi geli sendiri
mendengar cerita-cerita lucu tentang gadis-gadis
itu. Mulai dari yang mengiriminya foto sampai yang
mengirimkannya lagu lewat radio tiap weekend.

Hubungan kami berjalan begitu lancar.. begitu
sempurna.. Hingga tidak terasa aku sudah
menyelesaikan kuliahku.





Semenjak kuliahku selesai, aku tidak melakukan
banyak hal selain membantu papa sedikit-sedikit di
perusahaannya.
Sebenarnya Jason akan pulang saat wisudaku nanti,
ia sudah berjanji.. namun aku sudah tidak sabar
ingin bertemu dengannya karena wisudaku masih dua
bulan lagi. Saat kau merindukan seseorang, dua bulan
bisa jadi seperti penantian tanpa batas. Maka
kuberanikan diriku untuk meminta ijin ke Sydney.

"Sudah tidak sabar mau ketemu calon suami yah?"
ledek papa waktu aku mengutarakan niatku.
"Ah papa.. kayak nggak pernah pacaran aja.."
ucapku manja.
"Papa nggak ada alasan melarangmu. Kamu pesan saja
tiketnya.."
"Beneran pa?" ucapku girang.
"Kalau perlu pesan saja untuk dua bulan jadi kamu
balik ke Jakarta-nya sama-sama dia." tambah mama
lagi.
"Aduh, mama memang mama paling baik sedunia.." aku
memeluk mama erat-erat.
"Oh ya, aku mau bkin surprise loh buat Jason dan
Rosa jadi mama papa jangan sampe keceplosan yah.."
tambahku lagi.
Papa dan mama hanya tertawa melihat sikapku yang
kekanak-kanakan itu.. Kupandangi refleksi wajahku di
cermin. Aku tersenyum puas melihat penampilanku.
Kusisir rambutku yang sudah tumbuh panjang sekarang.
Aku teringat Jason pernah bilang bahwa aku lebih
cantik bila rambutku panjang. Mungkin itulah
alasannya mengapa aku tidak pernah memotong rambutku
semenjak aku mendengar kata-katanya itu. Aku
tersenyum membayangkan dirinya melihatku sekarang.
Aku tersenyum membayangkan perjumpaan kami sebentar
lagi, melihat ekspresi terkejut di wajah tampannya..
Kubayangkan juga hari-hari yang akan aku lewati
dengannya, menyusuri tempat-tempat indah yang selama
ini selalu ia ceritakan padaku.. Kurapihkan diriku
lagi sebelum keluar dari kamar kecil itu.
Kulangkahkan kakiku dengan mantap.

"Sydney, say hi to me.." pekikku girang dalam
hati. Aku memandang bangunan tinggi yang menjulang
dihadapanku. Taksi yang mengantarku sudah berlalu
dari tadi. Kulihat lagi kertas bertuliskan alamat
apartment Jason dan Rosa. Memang benar ini yang aku
cari. Ketika aku sudah hendak menekan interkom
apartment mereka, kulihat sepasang suami istri
berjalan keluar dari pintu utama. Lalu ide iseng
muncul di benakku. Sebelum pintu itu tertutup, aku
buru-buru menyelinap masuk..

"Kalau aku langsung muncul di depan pintunya tentu
lebih mengejutkan lagi.." pikirku nakal. Kutekan
tombol lift yang sesaat kemudian mengantarku ke
lantai teratas dari bangunan tersebut.

Sewaktu aku mengetuk pintu itu, aku merasa
jantungku yang justru terketuk. Lama tak terdengar
jawaban. "Mungkin mereka masih tidur.." aku melirik
jam tanganku yang menunjukkan jam sembilan pagi
lewat sedikit.

Hari ini hari minggu jadi wajar saja kalau mereka
bangun agak siang. Kucoba lagi mengetuk pintu itu,
agak lebih keras kali ini.. Tak lama, Rosa membuka
pintu itu, masih dengan pakaian tidur dan rambut
yang agak berantakan. Matanya terbelalak ketika
melihatku





"Bianca!!" teriaknya tertahan. Aku tersenyum dan
langsung memeluknya.
Lalu kulihat Jason muncul, hanya mengenakan celana
boxer pendek. Aku tersenyum dan hampir memanggilnya
ketika aku sadar ia sedang merangkul seorang
perempuan yang tidak pernah aku kenal. Perempuan itu
juga hanya

mengenakan pakaian tidur seadanya. Jason masih
mengucek-ucek matanya. "Siapa Sa? Kok bisa masuk
sini?"
tanyanya pada Rosa. Sementara yang ditanya tidak
berani menoleh ke belakang. Tersentak, kulepaskan
pelukanku. Jason juga rupanya segera menyadari
kehadiranku di situ dan buru-buru melepaskan
rangkulannya. Terlambat..

aku sudah melihatnya.. Belum sempat seseorang
mengucapkan sepatah kata pun, aku langsung
berbalik dan berlari pergi, menekan-nekan tombol
lift dengan tidak sabar.
"Bianca! Tunggu!" kudengar Jason berlari dan
mengejarku. Ia lalu mencengkeram lenganku keras,
membuatku tak mampu berontak. Aku berbalik
menatapnya namun pandanganku kabur, tertutup oleh
air mata yang sudah siap mengalir. Ia tidak
mengucapkan apa-apa. Ia menarikku ke pelukannya
dengan paksa.

Aku hanya bisa menangis seraya sesekali memukul
bahunya yang bidang itu. Perempuan itu beranjak
mendekati kami. Ia berdiri di belakangku, tepat
berhadapan dengan Jason.

"Ini pacarmu?" tanyanya sinis.
"Bukan." Jason menjawab mantap.
"Ia tunanganku.." Sambungnya seraya mempererat
pelukannya seolah ingin melindungiku. Tangisku makin
menjadi mendengar jawaban Jason itu.

Perempuan itu mendegus marah. "Kalau begitu, kau
dalam masalah besar sekarang.. Bagus, kau rasakanlah
akibat dari perbuatanmu sendiri!" bentaknya setengah
berteriak.

Lalu aku mendengar suara tamparan. Aku menolehkan
wajahku dan melihat Jason sedang memegang sebelah
pipinya. "Tamparan itu untukku. Dan ini untuk
tunanganmu." Ia lalu menampar Jason lagi.

Kulihat mata perempuan itu menyala oleh api amarah
namun aku tahu ia juga tengah menahan air mata yang
sudah mulai membahasi matanya. Aku tahu, ia sama
sedihnya denganku. Hanya saja, ia sedikit lebih kuat
dariku..

Perempuan itu lalu mengalihkan pandangannya
kepadaku. "Kurasa kau pun tahu, jahanam ini tidak
pantas untukmu.." ucapnya sebelum berlalu.

Kulihat ia masuk ke dalam lift yang sudah terbuka
sambil menenteng pakaian dan tasnya. Ia sama sekali
tidak menoleh lagi ke arah kami..





Mataku menerawang kosong. Aku sudah lelah
menangis. Rosa sedari tadi merangkulku. Jason juga
hanya duduk memandangku. Belum ada di antara kami
yang bicara semenjak Rosa mengajakku masuk ke
apartment mereka untuk menenangkan diriku. Mereka
berdua seolah menungguku untuk bicara terlebih
dahulu.

Aku bangkit dari dudukku. "Aku mau pulang." Ucapku
mantap. Sebelum ada di antara mereka yang
mencegahku, aku menoleh ke arah Rosa, "Kamu mau
antar aku ke airport kan?"

Rosa menoleh ke arahku dan kakaknya bergantian.
"Kalau kamu tidak mau, aku bisa pergi sendiri."
Ucapku akhirnya sambil mengangkat barang-barangku.

"Tunggu." Kudengar akhirnya Jason bersuara. Entah
mengapa, air mata ini ingin mengalir lagi ketika
mendengar suaranya. Aku tidak menoleh. Ia berjalan
menghampiriku dan menyentuh tanganku lembut. "Jangan
pergi dulu. Kita harus bicara."

Aku menoleh, menatapnya tajam dan kusentakkan
lenganku. "Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi,
Jason."
Akupun membuka pintu apartment itu dan melangkah
pergi.
Rosa buru-buru mengambil kunci mobilnya. "Ca, aku
antar kamu.." ia membantuku membawa tasku dan
berjalan bersamaku, meninggalkan Jason sendirian.

Ketika pintu lift itu terbuka, kudengar Jason
memanggilku sekali lagi. Aku masih tetap tidak
menoleh. Aku tetap melangkah masuk ke dalam lift
itu.

"Bianca, aku akan menunggumu.. walaupun harus
seribu tahun.." kudengar suaranya bergetar saat
mengucapkannya.
Aku tak menjawab. Pintu lift itu tertutup dan
barulah aku mulai menangis lagi.. Rosa terus
memelukku..
Hening.. itulah yang aku butuhkan..








"Ca, maafkan aku.." ucap Rosa sesaat sebelum aku
hendak masuk ke bagian imigrasi.
Aku tersenyum kecil. "Aku mengerti Sa.. Kamu ada
dalam posisi yang sulit."
"Ca.. kamu masih sahabatku kan?" ia meraih
tanganku dan menggengamnya erat.
Aku mengangguk. "Tentu Sa.. tapi beri aku waktu
dulu ya.. Aku ingin melupakan semua ini.."
Rosa mengangguk dan memelukku sebelum akhirnya
kami berpisah. Kupandangi awan-awan putih yang
menutupi bumi dari balik jendela pesawat.
Percakapanku di mobil dengan Rosa tadi masih
terngiang jelas di benakku.

"Sudah berapa lama, Sa?" tanyaku getir.
Rosa diam sebentar, seolah bimbang haruskah ia
berkata jujur atau haruskah ia membela kakaknya.
"Kita sahabat, kan?" desakku.

"Paling hanya dua minggu, Ca.. Kakakku tidak
pernah serius dengan mereka.." jawab Rosa akhirnya.
"Mereka?" aku tersentak kaget.
Rosa jadi gelagapan. "Maksudku.. bukan begitu.."
ia lalu memukul setirnya kesal. "Baiklah, aku
katakan sejujurnya Ca.. Aku pikir kamu berhak tahu
semuanya." Rosa berhenti sesaat, menunggu reaksiku.
Aku diam, membiarkannya melanjutkan kalimatnya.

"Seumur hidupnya, selain dirimu, ia hanya pernah
mencintai satu perempuan lagi. Namanya Sarah. Mereka
sudah berpacaran cukup lama ketika kakakku tahu
kalau Sarah ternyata sudah hampir menikah dengan
orang lain. Kakakku hanya dijadikan pacar gelapnya.
Kakakku pun tidak tahu apakah Sarah pernah
benar-benar mencintainya seperti ia pernah mencintai
perempuan itu. Sarah meninggalkannya begitu saja. Ia
hampir jadi gila saat itu. Semenjak itu ia berubah."
Rosa berhenti sesaat. "Ia terus mempermainkan
perempuan. Ia memacari mereka, meniduri mereka lalu
meninggalkan mereka begitu saja. Ia ingin menyakiti
selayaknya ia pernah disakiti. Baginya cinta sejati
itu sudah tidak ada.."

Aku tertegun. Ternyata ada begitu banyak tentang
Jason yang tidak pernah aku tahu. Apakah karena aku
terlalu takut kehilangan dirinya sehingga aku tidak
pernah bertanya tentang masa lalunya.. Apakah ini
salahku semata?

"Ia berubah sewaktu ia berkenalan denganmu. Ia
benar-benar jatuh cinta lagi.. Tapi ia takut.. Ia
pernah berjanji untuk tidak jatuh cinta lagi..
lagipula perkenalan kalian terlalu cepat.."

Jadi itu sebabnya ia sempat menolak pertunangan
kami.. Itulah juga sebabnya ia pernah mengatakan
padaku, "Aku suka cewek yang bisa membuatku jatuh
cinta..". Aku yang telah membuatnya jatuh cinta,
sesuatu yang ia benci..

"Kalau ia memang mencintaiku, kenapa ia melakukan
ini padaku?" tanyaku pilu.
Rosa menghela napasnya. "Kamu tahu kenapa ia
bersikeras ingin tetap ke Sydney? Karena ia tahu ia
belum siap dengan komitmen.. karena ia takut ia
berharap terlalu banyak darimu.. Terlalu banyak
pertimbangan yang membuatnya memilih untuk berpisah
sementara darimu.. Ia telah mencoba sebisa mungkin
untuk setia padamu namun..." Rosa terdiam sesaat.
"Ia masih tidak bisa lepas dari bayang-bayang Sarah.
Terutama belum lama ini seorang teman lama kembali
menguhubungi dia.. Mengungkit Sarah lagi.. dan
ternyata Sarah mengetahui pertunangannya denganmu..
Aku tidak begitu tahu apa yang mereka bicarakan tapi
yang pasti emosi Jason langsung jadi labil.. Ia
kembali seperti dulu.."

"Kalau ia merasa belum pasti dan belum bisa
melepas kehidupan lamanya, kenapa ia tetap mau
bertunangan denganku?" potongku.

Rosa membalas tatapan mataku. "karena di sisi
lain, ia tidak mau kehilanganmu.. karena jauh di
lubuk hatinya, ia masih percaya kalau Tuhan
memberikanmu untuknya.. Itulah sebabnya ia terus
berupaya terlihat seperti Jason yang kamu dulu kenal
sekalip.. "

"Tidak usah diteruskan.." Aku membuang mukaku,
menggigit bibirku sendiri.. Mengapa aku merasa ini
semua tidak begitu adil bagiku.. Aku tak ingin
mendengar apa-apa lagi..

Rosa meremas tanganku lembut. "Beri Jason waktu..
Hanya itu yang ia butuhkan.. Aku tahu, ia memilihmu
lebih daripada Sarah walau ia sendiri tidak
menyadarinya.."

Aku terus diam seribu bahasa. Bagiku semuanya
sudah jelas. Terlalu jelas sehingga hati ini begitu
sakit rasanya..







Orang tuaku begitu marah dan kecewa ketika aku
ceritakan semuanya. Mereka langsung menghubungi
orang tua Jason dan membatalkan pertunangan kami.
Orang tua Jason tidak banyak berkomentar selain
meminta maaf kepada orang tuaku dan aku. Jason
pernah mencoba menghubungiku semenjak kejadian itu.
Setelah dua kali telponnya tidak aku angkat, ia
hanya sekali mengirimku e-mail yang tidak pernah aku
balas.

Dear Bianca,
Ca, aku sudah mencoba menelponmu tapi tampaknya
kamu menghindari aku.. Jadi aku rasa tidak ada
gunanya terus mencoba. Aku lalu terpikir untuk
mengirim e-mail ini.. Sekalipun kamu tidak akan
membalasnya, setidaknya kamu membacanya dan itu
sudah cukup bagiku.

Aku tahu kata maaf tidak akan berarti banyak
setelah apa yang terjadi. Aku juga tahu, aku sudah
tidak pantas dimaafkan. Aku terlalu menyakitimu..
Tapi aku ingin kamu tahu, aku juga menderita di
sini.. Aku sangat menyesal atas semuanya..

Aku rasa Rosa sudah menceritakan semuanya
kepadamu.. namun biarlah aku menceritakannya lagi
supaya kau tahu siapa diriku yang sebenarnya.

Sarah. Dia cinta pertamaku. Kami berkenalan
sewaktu aku baru masuk kuliah. Waktu itu aku adalah
laki-laki yang naif, yang percaya akan cerita-cerita
cinta yang selalu berakhir bahagia. Aku merasa
kisahku dengan Sarah akan berlangsung tanpa akhir.
Namun aku salah, sangat salah. Ternyata Sarah sudah
punya tunangan di Jakarta dan mereka akan segera
menikah. Waktu aku menanyakan kebenarannya, ia
meninggalkanku begitu saja. Aku terus menerus
mencoba menghubunginya namun ia tak pernah peduli
padaku. Cintaku terbuang begitu saja, harapanku
kandas.. Aku tidak percaya lagi akan adanya cinta.
Selanjutnya, aku mengisi hari-hariku dengan
perempuan-perempuan yang datang silih berganti. Aku
tak pernah mencintai mereka, aku hanya menjadikan
mereka objek kesenanganku saja.. Sama seperti Sarah
pernah memperlakukanku.

Ketika bertemu denganmu, aku merasakan ada sesuatu
yang berbeda di dirimu. Kamu begitu polos, begitu
naif, seperti aku dulu. Melihatmu mengingatkanku
akan diriku yang dulu. Membuatku mengingat indahnya
cinta yang pernah aku nikmati dengan Sarah. Dan
seperti yang bisa kau tebak, aku jatuh cinta padamu.
Namun bukannya bahagia, aku malah takut. Aku takut
terluka lagi.. Aku ingin pergi meninggalkanmu tapi
aku juga ingin memilikimu. Aku tak bisa memilih di
antara keduanya. Jadi itulah yang aku lakukan, aku
pergi setelah berhasil menjadikanmu tunanganku.

Setelah kembali ke Sydney, aku mencoba untuk
kembali menjadi seperti aku yang dulu. Mencintaimu
seperti aku pernah mencintai Sarah. Setia tanpa
syarat kepadamu.. Namun aku tidak bisa, Ca.. Entah
kenapa halnya begitu sulit bagiku. Aku terus
mencintaimu walau pada saat yang bersamaan aku juga
tidak bisa merubah diriku untuk menjadi pria yang
pantas untukmu.. Kuteruskan permainanku dengan
harapan akan tiba saatnya di mana kita menikah dan
barulah aku bisa meninggalkan semua itu, Lalu kau
muncul tiba-tiba di depanku. Semua kebohonganku
terbongkar dalam hitungan detik. Semua cinta dan
kepercayaan yang kau pupuk sirna begitu saja.
Melihatmu menangis, hati ini seperti ditusuk-tusuk.
Aku tidak bisa berhenti memaki diriku sendiri. Tapi
itulah kenyataannya, aku telah kehilanganmu karena
kesalahanku sendiri.. Dan entah mengapa, ini lebih
sakit daripada sewaktu aku kehilangan Sarah. Aku
tahu, mungkin hanya waktu yang bisa mengembalikan
cinta dan kepercayaan yang telah aku hilangkan itu.
Berapa lama pun waktu itu, aku akan terus setia
menunggu di sini. Kamu telah berhasil membuatku
jatuh cinta lagi, dan sekarang kamu telah
mengembalikan diriku seperti dulu. Jika saatnya
tiba, aku harap kamu sudi memberiku satu kesempatan
lagi. Dan bila saat itu tiba, kita takkan
terpisahkan lagi.



Love you still,

Jason



Hanya itu satu-satunya e-mail yang ia kirimkan
padaku. Ia sama sekali tidak menyebutkan tentang
kejadian yang Rosa ceritakan padaku.. Ia sama sekali
tidak menceritakan tentang percakapannya mengenai
Sarah yang merubah dirinya, yang merubah
kesetiaannya padaku.. Ia membuat kesan seolah-olah
semua ini tidak ada sangkut pautnya lagi dengan
Sarah.. Aku kecewa. Setelah itu ia tidak pernah
mencoba menghubungiku dengan cara apapun juga. Aku
agak sedikit lega karenanya namun aku juga jadi
kecewa. Entah mengapa aku ingin ia terus menerus
menghubungiku, setidaknya mengirimiku e-mail
menceritakan keadaannya sekarang. Bodoh memang, tapi
itulah aku..

Lain halnya dengan Rosa. Ia selalu mengirimiku
e-mail yang menceritakan tentang kehidupannya
sendiri. Ia sama sekali tidak pernah menyinggung
tentang Jason. Sedikitpun tidak. Terkadang aku
membalas e-mailnya walau hanya singkat dan sebatas
formalitas. Aku juga tidak pernah menceritakan
diriku sendiri terlalu mendetail karena aku tahu
Rosa pasti menyampaikan isi e-mailku kepada Jason.
Harus kuakui, aku sempat berpikir bahwa dunia ini
sudah berakhir. Aku sudah tidak ingin lagi hidup.
Berminggu-minggu aku mengurung diri di rumah,
tenggelam dalam kesedihan dan kesepian.. Aku merasa
tercampakkan dan tak berguna. Walaupun Jason
mengatakan ia masih mencintaiku tapi apakah itu
masih ada gunanya setelah ia menyia-nyiakan
kepercayaan yang aku berikan? Walaupun aku mengerti
keadaannya, tapi salahkah aku apabila aku menjadi
sedikit egois dalam hal ini? Aku hanya ingin
dicintai selayaknya aku mencintai.. Sejujurnya, aku
juga merasa sangat cemburu dengan yang namanya
Sarah.

Baik dari cerita Rosa maupun e-mail Jason, Sarah
terdengar begitu berarti bagi Jason. Perempuan yang
berhasil mengubah kehidupan Jason begitu drastis
tentulah bukan sembarang perempuan bagi Jason. Aku
yakin, ia masih memiliki tempat di hati Jason,
tempat yang selamanya tidak pernah tergantikan
olehku. Aku merasa terkalahkan.. dan putus asa.

Lalu aku tersadar. Aku tidak boleh jatuh
selamanya. Justru aku harus buktikan pada Jason
bahwa aku bisa berdiri sendiri tanpa dirinya
disisiku. Atau aku hanya sekedar ingin menguji
kesungguhan cintanya? Aku sendiri tidak mengerti..
Sebagian hatiku menginginkan dirinya,namun sebagian
lagi tertahan oleh egoku. Aku tak ingin ia memiliku
lagi dengan mudah setelah apa yang ia lakukan
padaku..

Jadi aku memutuskan untuk melanjutkan sekolahku di
luar negeri. Ingin mencoba suasana baru dan memulai
hidup yang baru. Aku bukannya ingin mencari cinta
yang lain karena bagiku, Jason lah satu-satunya
cintaku. Cintaku hidup dan mati bersamanya. Maka,
berangkatlah aku ke San Fransisko dengan sejuta
harapan tersimpan dalam diri ini.





Sudah lebih dari dua tahun aku menghabiskan
kehidupanku di sini. Aku tidak pernah pulang ke
Jakarta, untuk liburan sekalipun. Walaupun
sebenarnya sekolahku sudah selesai, berkat
rekomendasi dan praktek kerjaku dulu, aku berhasil
memperoleh pekerjaan sementara di sini. Sebentar
lagi batas waktunya habis dan aku harus pulang ke
Jakarta, mulai membantu usaha papa.

Sejujurnya, aku tidak rela melepaskan apa yang aku
miliki di sini. Aku menikmati pekerjaan dan
pergaulan yang aku miliki di sini. Budaya
orang-orang di sini membuatku merasa lebih bebas dan
tidak tertekan. Bagaimana Jason sekarang? Apakah ia
masih bekerja di Sydney atau apakah ia sudah pulang
dan membantu usaha papanya di Jakarta? Ah.. ingin
rasanya aku bertanya tentang Jason kepada Rosa namun
ego ini terlalu besar.

Aku perhatikan lagi detail di undangan Rosa.
Pernikahannya masih tiga bulan lagi. Pestanya akan
diselenggarakan di Jakarta. Hmm.. itu berarti aku
harus pulang agar dapat hadir di pesta itu.
Tiba-tiba aku tersentak. Bukankah itu berarti aku
akan bertemu dengan Jason? Jantungku berdebar-debar
sendiri. Bodohnya diriku.. Tak lama kudengar ada
yang membuka pintu depan. Kuintip sedikit siapa yang
datang, ternyata Stanley. Ia muncul dengan mendekap
bungkusan besar penuh belanjaan.

"Kok nggak tiduran? Ngapain bengong di ruang
tamu?" tanya Stanley sambil terus berjalan ke arah
dapur. "Pusingnya udah mendingan?" sambungnya lagi
sambil membereskan belanjaannya.

Aku berjalan malas-malasan dan duduk di dapur
kering seraya menatapnya yang masih sibuk sendiri
dengan barang-barangnya.

"Udah lumayan lah.." jawabku sambil menguap.
"Kalau udah mendingan, sini bantuin aku masak.."
"Nggak jadi Stan.. pusingnya kumat lagi ngeliat
kamu.." jawabku sambil ngeloyor pergi ke kamar.
Aku hanya tersenyum mendengar Stanley
ngomel-ngomel sendiri. Stanley. Sahabat baikku. Kami
berkenalan dalam suatu acara yang diadakan oleh
komite anak-anak indonesia di kampus. Waktu itu ia
juga sedang melanjutkan masternya, namun jurusannya
berbeda dariku. Rupanya rumah kami di Jakarta
berdekatan, dan dari situ pembicaraan kami mulai
berlanjut.

Aku merasa cocok sekali bergaul dengan Stanley.
Aku tidak pernah merasa risih untuk menceritakan
apapun padanya walaupun ia laki-laki. Mungkin karena
gayanya yang seperti perempuan membuatku tidak
pernah menganggapnya sebagai seorang laki-laki.
Walaupun begitu, aku yakin ia juga bukan seorang gay
karena ia pernah menceritakan kisah cintanya dulu
padaku.

Hanya kepada Stanley aku bisa leluasa menceritakan
masa laluku dengan Jason, sesuatu yang tidak pernah
diketahui oleh teman-temanku di sini. Hanya dengan
dia aku bebas melakukan apa yang aku mau. Marah..
menangis.. berteriak.. semuanya..





Setiap aku sakit, Stanley-lah yang menjagaku.
Seperti yang ia lakukan sore ini. Ia tahu aku agak
tidak enak badan sehingga harus pulang lebih cepat
dari kantor. Ia langsung berbelanja bahan-bahan
untuk memasakkanku makanan, sesuatu yang sangat
sering ia lakukan.

Stanley bukan hanya sahabatku, ia juga adalah
saudaraku. Aku sering memanggilnya, 'my sister'
karena ia lebih cerewet dari mamaku sekalipun. Kalau
sudah begitu ia pasti pura-pura marah dan mulai
bersikap sok seperti gentleman. Tapi itu tidak
pernah bertahan lama.

"Biancaaaaaa.." Kudengar ia berteriak memanggil
namaku. Kulihat jam weker di samping tempat tidurku.
Sudah 30 menit berlalu, ia pasti sudah selesai
masak. Stanley adalah koki tercepat dan terhebat
yang pernah aku kenal. Tidak ada yang bisa menyaingi
masakannya.

Waktu aku keluar dari kamar, kulihat ia sedang
menata piring di meja makan. Aku segera menghampiri
dan membantunya.
"Ini ravioli dengan cheese cream-nya tuan putri.."
ucapnya sambil menghidangkan makanan kesukaanku itu.

Seperti biasa, Stanley tidak langsung makan. Ia
selalu menyalakan musik. Katanya, kalau sambil
mendengarkan musik yang romantis, makan apapun akan
jadi enak. Malam ini ia memasang lagu First Love-nya
Nikka Costa.

"Stan, malem ini kamu nggak jemput kakakmu?"
tanyaku sewaktu ia sudah duduk bersama-samaku di
meja makan.
"Tadi dia juga pulang cepet soalnya mesti jemput
temennya yang baru datang dari Jakarta."
"Oh ya? Kenalin donkkk. cewek atau cowok?"
"Eh.. ganjennya kumat nih anak. Yang ini cewek,
pokoknya jatahku.." balas Stanley tak mau kalah.
"Ambil gih.. Dianya juga belum tentu mau sama
kamu.." aku mencibirkan bibirku.
"Udah.. serius nih.. Weekend ini kita disuruh
temenin dia jalan-jalan soalnya kakakku ada tugas di
luar kota."
"Oke, aku juga free kok.." jawabku senang.
"Ngomong-ngomong, siapa namanya? Tau nggak?"
"Sarah." Jawaban Stanley langsung membuat suasana
hatiku kacau.
Sarah.. Mungkinkah Sarah yang itu? Aku melirik
Stanley. Ia tampak biasa saja, sibuk mengunyah
makanan di mulutnya yang penuh itu sambil sesekali
bersenandung.





Weekend yang aku tunggu-tunggu pun tiba. Aku tidak
sabar ingin bertemu dengan yang namanya Sarah. Aku
ingin tahu apakah ia adalah Sarah yang selama ini
membakar kecemburuan dalam diriku. Sarah yang selama
ini membuatku ingin melupakan Jason selamanya. Ia
muncul di hadapanku. Tepat seperti yang aku
bayangkan, ia begitu cantik.. Jika ia adalah Sarah
yang selama ini aku ingin temui, maka tidak salah
Jason begitu tergila-gila padanya. Tubuhnya begitu
sempurna, membuatku merasa minder seketika itu juga.
Semua gerak-geriknya begitu sopan dan feminin,
mencerminkan wanita yang sesungguhnya..Jika aku
bukan wanita, mungkin aku juga akan jatuh cinta
padanya.. Ketika Stanley meninggalkan kami berdua
saja, kuberanikan diri untuk memancing-mancingnya
menceritakan masa lalunya.

"Kamu berapa lama rencananya di sini?" tanyaku
membuka percakapan.

"Sampai semua tempat sudah aku kunjungi.."
jawabnya sambil menyibakkan rambut panjangnya yang
berwarna kecoklatan ke belakang dan tersenyum manis
padaku.

"Kalau kamu? Apa sudah pasti menetap di sini?"

Aku menggelengkan kepalaku. "Rasanya aku harus
kembali ke Jakarta."
"Oh.. udah ada yang nungguin di sana yah?"
senyumnya nakal.
Kebetulan.. pikirku. "Wah.. nggak ada lah..
Emangnya kamu ada yah?"
Air wajahnya berubah sedikit, terlihat agak sedih.
"Tidak ada yang menungguku.." jawabnya.. misterius..

Aku terdiam, otakku berputar keras, mencari
pertanyaan lain yang bisa aku ajukan padanya.
"Kenapa kamu ama Stanley nggak pacaran aja? Kalian
keliatannya cocok sekali.." ia berbicara lagi.
Aku tertawa. "Stanley dan aku sudah seperti kakak
adik. Kami nggak mungkin pacaran.."
"Atau apakah karna kamu masih mencintai orang
lain?" tanyanya, tidak dengan nada yang terlalu
serius.
Aku terhenyak. Tidak kusangka ia akan bertanya hal
seperti itu pada perjumpaan pertama kami walaupun
aku tahu ia tidak bersungguh-sungguh dengan
pertanyaannya.

Ia tersenyum. "Tidak perlu dijawab. Aku sudah tahu
jawabannya.."
Aku menatapnya heran. Ia tidak membalas tatapanku.

"Kalau kamu?" tanyaku memberanikan diri.
"Aku? Semua orang pasti memiliki seseorang yang
dicintai.." kini ia menatapku. Tatapan matanya
begitu tajam, namun indah..

"Ohh.." jawabku kikuk. "Ngomong-ngomong, bagaimana
kamu bisa kenal dengan kakaknya Stanley?" tanyaku,
mencoba mengalihkan pembicaraan. Mungkin lain kali
baru aku coba membahas hal ini lagi.

"Kami berkenalan waktu aku sekolah di Sydney."
Jantungku mulai berdetak cepat. "Oh ya, kapan kamu
lulus?"
"Aku tidak pernah lulus kuliah.. Aku harus
menikah." matanya menerawang.
Ia lalu tertawa kecil. "Jangan pikir aku menikah
karna sudah hamil duluan yah.."
"Kalau begitu, kenapa kamu menikah?"
"Dijodohkan.."
Tidak salah lagi.. Dia pasti adalah Sarah yang
mantan kekasih Jason. Belum aku sempat bertanya
lagi, Stanley sudah muncul. Percakapan kami
terputus..







"Kamu yakin?" tanya Stanley sewaktu aku
memberitahukannya tentang kesimpulan yang aku
dapatkan tentang Sarah.
"Ya abisnya kan aneh kalau bisa ada dua kejadian
mirip seperti itu.."
"Tapi dari yang aku dengar, dia masih single kok..
Lihat aja, emangnya dia kelihatan kayak orang udah
nikah? masih seksi begitu.." Stanley bersuit.

Aku melemparkan bantalku ke kepalanya.. Kesal
dengan sikapnya yang tidak serius. Ia malah membalas
lemparanku dan perang bantalpun dimulai. Belum
sampai lima menit..

"Nyerah.. nyerah.." ucap Stanley akhirnya dengan
napas terengah-engah.

"Makanya.. diettt!! Kegendutan sih.." aku tertawa
lepas.
"Ca.." panggil Stanley serius. "Aku akan tanyakan
pada kakakku tentang Sarah."
"Thank you, Stan.. You are the best!" aku
memelukku sahabatku itu.
Menurut Tania, kakaknya Stanley, Sarah batal
menikah dengan pria yang dijodohkan oleh orang tua
mereka. Alasannya simple saja, pihak pria yang
memutuskan perjodohan tersebut. Selebihnya Tania
tidak pernah bertanya banyak, takut hal tersebut
akan membuatnya sedih. Sarah juga agak tertutup.
Tania bahkan tidak pernah mendengar nama Jason.

Aku agak sedikit kecewa karena tidak banyak
informasi yang bisa diberikan oleh Tania. Namun aku
belum menyerah.








Malam ini house mate-ku menginap di rumah temannya
jadi Stanley akan datang dan masak makan malam
untukku. Ia juga akan mengundang Sarah untuk
bergabung bersama kami. Menurut Stanely, aku bisa
manfaatkan kesempatan ini untuk bertanya lebih
banyak tentang masa lalunya. Stanley dan Sarah
datang bersama. Stanley langsung mulai memasak
sementara aku diminta menemani Sarah ngobrol. Aku
mengajak Sarah untuk berbincang-bincang di kamarku.

"Wah, kamarnya rapih ya.." puji Sarah. Ia lalu
duduk di dekat meja belajarku.
Belum aku sempat berbicara, kudengar Stanley
memanggilku. Aku memutar bola mataku. 'Ada apa lagi
sih..' gumamku. "Bentar yah Sar.." aku meninggalkan
dia sendirian. Ketika aku kembali ke kamar, aku
terkesiap melihat Sarah sedang memegang undangan
pernikahan Rosa.

"Kamu kenal yang pengantin pria atau pengantin
wanita?" tanyanya tajam.
"Aku sahabat Rosa. Kamu?" Entah mengapa, aku tidak
suka dengan sikapnya yang menurutku agak sedikit
kurang sopan.
"Jadi kamu yang bekas tunangannya Jason.."
gumamnya pelan. Aku merasa agak tersinggung ketika
mendengarkannya mengatakan kata 'bekas'.

"Jadi kamu yang bekas pacarnya Jason.." balasku
tak mau kalah walaupun tetap kuusahakan agar nada
bicaraku tetap terdengar bersahabat.

Ia berdiri dan menghampiriku. "Ya, tepatnya, aku
cinta pertama Jason."
Aku membalas tatapannya. Aku merasa marah, terluka
dan terkalahkan..
"Kamu memang cinta pertamanya.. Namun apakah ia
masih mencintaimu sekarang?" balasku.
"Aku rasa kamu pun tahu jawabannya." Ia tersenyum.
"Kamu dulu bisa mendapatkannya karena aku pergi dari
hidupnya."
"Ia tidak pantas mencintaimu setelah kamu
meninggalkannya begitu saja."
Aku merasa emosiku sudah naik ke ubun-ubun.
"Terserah kalau kamu mau menyalahkanku. Namun satu
hal yang pasti, aku masih mencintainya dan akan
kubuktikan padamu, aku bisa memilikinya kembali.."
ucapnya sinis.

Suasana makan malam itu menjadi dingin. Aku tidak
mengucapkan sepatah katapun. Stanley yang sibuk
mengajak Sarah ngobrol dan mencoba mencairkan
suasana. Tampaknya Stanley sudah bisa menduga apa
yang terjadi.

Sarah sendiri bersikap seperti tidak terjadi
apa-apa. Aku tidak menyangka Jason bisa menyukai
orang seperti dia.. Sungguh munafik.. Atau mungkin
Jason tidak pernah mengetahui sisi lain dari
perempuan ini?

Setelah mengantar Sarah pulang, Stanley kembali
lagi ke rumahku untuk menanyakan apa yang terjadi.
"Aku nggak nyangka deh anaknya rese begitu.."
ucapku setelah aku menceritakan percakapanku dengan
Sarah tadi.
"Jadi gimana donk? Sekarang kamu sudah tahu dengan
pasti, dia adalah Sarah yang mantan pacarnya Jason..
Lalu?"
Aku termenung mendengar pertanyaan Stanley. "Aku
nggak tahu Stan.. Aku hanya tidak rela melihatnya
merebut Jason dariku.. Dia tidak pantas mendapatkan
Jason lagi.." ucapku dengan mata menerawang.
Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku.

"Kalau begitu, buktikan padanya, Jason lebih
memilih kamu.."
Aku menatap Stanley lama sekali.. Sejujurnya aku
agak ragu apakah Jason akan memilih diriku. Aku
tahu, seberapa besar pun luka yang pernah
ditinggalkan ditinggalkan Sarah, Jason akan selalu
memaafkannya. Aku pun pernah terluka karena alasan
yang sama. Benarkan Jason akan memilihku?

Seperti bisa membaca pikiranku, Stanley
menggenggam tanganku erat. "Ambillah cinta yang
menjadi hak kamu sebelum kamu menyesal.." ia
meyakinkanku.

Ucapan Stanley seperti memberiku sebuah keyakinan.
Aku mengangguk, "Kamu benar, Stan.. Mungkin ini
sudah saatnya.."
Esoknya, aku memutuskan untuk menelpon Sarah.
"Ini aku, Bianca.." ucapku dingin.
"Oh.. ada apa?" tanyanya seperti tidak pernah
terjadi apa-apa antara kami.
"Katamu, kamu bisa merebut Jason kembali. Aku
minta kamu buktikan itu.."
Ia terdiam sebentar. "Bagaimana kalau kita ubah
permainannya. Kalau kamu bisa buktikan, Jason lebih
memilihmu daripada aku, aku yang akan pergi.."

"Caranya?" tanyaku.
"Simple saja. Aku tunggu kamu di pesta pernikahan
Rosa.."
"Apa kamu bilang? Kamu juga diundang?" tanyaku
kaget.
"Bukan urusanmu.." jawabnya dingin.
Kini aku yang terdiam sebentar. "Baik.. Aku harap
kamu tepati ucapanmu.." Ia lalu menutup telpon itu
begitu saja.

Tidak lama setelah kejadian itu, aku dengar dari
Stanley, Sarah kembali ke Jakarta. Aku sendiri tidak
pernah berbicara lagi dengannya. Aku tidak pernah
merasakan kebencian yang begitu dalam terhadap
seseorang sebelumnya. Bukan hanya karena aku merasa
ia adalah sainganku, namun juga karena sikapnya yang
terlalu meremehkanku.

"Ca, kamu yakin, kamu akan back for good?" tanya
Stanley selagi kami makan malam bersama. Lagu
Forever Love-nya Gary Barlow menemani kami.

"Cepat atau lambat aku tetap harus kembali kan?"
aku memain-mainkan nasi di piringku dengan tidak
selera.
"I'll miss you.." ucapnya. Aku tertawa.

"Ca.." panggilnya lagi. "Apakah kamu dah siap
bertemu dengan Jason?"
Aku spontan mengangkat bahuku. "Aku agak takut
Stan.. Tapi kehadiran Sarah seperti mendorong aku
untuk menerima kenyataan bahwa aku masih mencintai
Jason.. Ia seperti memberi aku keberanian untuk
mengambil keputusan yang tidak pernah berani aku
ambil sebelumnya.." aku menatap Stanley kosong.

"Bagaimana kalau nanti Jason ternyata memilih
Sarah?" tanya Stanley seketika.
Aku agak kaget dengan pertanyaan Stanley. Aku
selalu takut memikirkan kemungkinan itu.
"Aku doakan ia bahagia dengan Sarah.."
"Lalu bagaimana denganmu?"
"Entahlah.."
Stanley menggenggam tanganku hangat. "Kalau itu
terjadi, kamu harus ingat, aku selalu di sini,
mendukungmu.."
"Terima kasih Stan.."
Stanley tersenyum. "Jangan khawatir. Hal itu
takkan terjadi karena Jason pasti memilihmu.."
"Bagaimana kamu bisa begitu yakin?"
"Karena aku tahu, Jason bukan laki-laki bodoh yang
mau melepaskanmu begitu saja.."
Aku tersenyum. Aku mempererat genggaman tangan
kami. Saat bersama Stanley, aku menemukan apa yang
disebut orang sebagai suatu ketenangan..

"Jadi Stan.. Kamu sendiri bagaimana?"
"Aku? Yah begini-begini saja.." jawabnya dengan
gayanya yang lucu..
"Kamu nggak cari pacar? Aku tahu kok ada beberapa
bule yang demen sama kamu.." ledekku.
"Wah.. males aku ama bule, nanti kalo dah nikah
pasti pada melar.. Aku butuh yang kurus donk, supaya
nggak berebut makanan.. Sekalian memperbaiki
keturunan.. Masa dari generasi ke generasi keluarga
besar-besar semua sih??"

Aku tertawa mendengar komentarnya. "Stan, kayaknya
yang jadi istri kamu pasti lama-lama juga gendut
soalnya dimasakin yang enak-enak terus sih.."

"Ah.. tuh kamu aja makan dari tadi kaga
abis-abis.. Nggak enak yah?" gaya sok ngambeknya
mulai keluar.
"Maap deh.. Abisnya lagi nggak enak badan nih..
Tau sendiri kan?" aku mengedipkan mataku.
"Nggak, nggak tahu.. Aku kan LAKI-LAKI!" lagi-lagi
ia membuatku tertawa.
"Aduh Stan.. aku nggak bisa bayangin nih.. di
Jakarta nanti bakalan nggak ada kamu.." ucapku
serius..
"Siapa bilang?"
"Hah? Kamu juga ke Jakarta?" tanyaku kaget.
Ia tersenyum nakal, namun aku tahu, senyumannya
itu berarti 'iya'. Aku langsung berteriak kegirangan
dan memeluknya.
"Eh, jangan kesenengan dulu.. Aku cuma liburan di
sana.."
"Nggak pa-pa.. Pokoknya kamu mesti nemenin aku pas
pestanya Rosa.." paksaku.
"Memang itu tujuanku kok.. Aku mau kamu berbagi
kebahagiaan denganku..
Pokoknya, jangan mentang-mentang dah jadian lagi
ama Jason, aku ditelantarkan yah! Awas!" ancamnya
sambil sok mengacung-acungkan tinjunya.

"Beres boss!" sorakku gembira..
Stanley memang selalu tahu kapan aku
membutuhkannya..





Waktu kepulanganku ke Indonesia semakin mendekat.
Sudah dari jauh-jauh hari aku mempersiapkan
semuanya. Karena kali ini kepulanganku adalah untuk
selamanya, aku mempersiapkan semuanya dengan begitu
cermat.

Dengan dibantu Stanley, aku sudah siap pulang
sekarang.. Ia bukan hanya membantuku secara fisik,
ia juga menguatkan diriku, terus menerus
meyakinkanku bahwa ini adalah keputusan yang benar..

Di saat aku takut dan bimbang, pelukannya terbuka
lebar untuk menenangkanku.. Di saat aku mulai
membayangkan perpisahanku yang menyakitkan dengan
Jason, tawa dan lelucuon konyolnya akan membuat
semua itu sirna seketika.

Di saat aku sedih karena akan berpisah darinya,
senyum dan genggaman tangannya meyakinkanku bahwa ia
selalu ada di setiap langkahku.. Bahwa ia selalu
berdiri di sampingku dan siap menopangku kapan saja
aku terjatuh..

Aku tak tahu mengapa, semuanya itu malah membuatku
semakin sedih dan takut.. Membayangkan perpisahanku
dengannya, aku merasa seperti anak kecil yang akan
dipisahkan dari mainan kesayangannya.. Aku tahu ini
adalah perasaan yang bodoh.. Aku akan memulai
hidupku yang baru, bersama dengan cinta pertamaku,
sesuatu yang aku pendam dan aku nantikan selama
ini..Aku harus bahagia kali ini.. Harus....

Tiba di Jakarta, semuanya terasa familiar. Seperti
déjà vu rasanya ketika aku melihat tempat-tempat
yang aku datangi dulu. Saat-saat ini begitu
menyenangkan. Ditambah dengan kehadiran Stanley di
sampingku, aku merasa begitu bisa gembira bisa
pulang ke rumah.

Papa dan mama langsung menyukai Stanley, terutama
mama. Ia dan Stanley langsung jadi akrab. Mereka
sering masak dan shopping bersama. Kadang aku jadi
geli sendiri melihatnya. Untung saja papa tidak
cemburu..

Akhirnya saat itu tiba. Besok adalah pernikahan
Rosa. Rosa tidak tahu kalau aku sudah ada di
Jakarta. Ia berpikir aku tidak akan datang karena
aku tidak bisa mendapat cuti dari kantor tempat aku
bekerja.. Mungkin begitu lebih baik, jadi kalau
Jason memilih Sarah, aku bisa pulang begitu saja
tanpa Rosa perlu tahu bahwa aku pernah datang..
tanpa perlu ada masalah lagi tercipta..





"Ca, gaun buat besok udah disiapin?" tanya Stanley
ketika ia masuk ke kamarku.
"Bingung nih Stan.. Gaunku nggak banyak.. Pilihin
donk.." aku menunjuk ke lemari baju tempat aku
menyimpan semua gaun pestaku. Stanley langsung
menyortir isi lemari tersebut.

"Aduh Ca.. seleramu jelek banget sih.. Harusnya
kita beli pas shopping sama mama kamu kemaren.."
ucapnya setengah mengomel.

Aku hanya tersenyum mendengar komentarnya.
"Eh, yang ini bagus.. Simple tapi anggun.."
Stanley mengeluarkan sebuah gaun dan menunjukkannya
padaku.
Aku terdiam.. Gaun itu.. "Itu gaun pertunanganku
dulu Stan.." sahutku pelan.
Raut wajah Stanley langsung berubah. Hening
sesaat.. Lalu raut wajahnya kembali ceria, "Ya nggak
pa-pa.. Sekalian sebagai tanda bahwa kamu jadi
tunangan dia lagi.." sambungnya setengah bercanda.

"Norak ah.." balasku dengan senyum dipaksakan.

Stanley mengembalikan gaun itu ke tempatnya. Ia
lalu menghempaskan dirinya, duduk di sebelahku.
"Jangan bete gitu donk.." ia mencoba membuatku
tersenyum.

"I'm ok, Stan.." aku menyandarkan kepalaku di
bahunya. Ia berbalik menyadarkan kepalanya di atas
kepalaku.
"Gini aja.. Besok kita coba cari gaun yang bagus
yah tapi aku yang pilihin.. Dijamin nggak kalah dari
gaun pilihan dia deh.." Aku hanya mengangguk tak
bersemangat.

Aku hanya berharap aku dapat melewati semua ini
secepatnya.. Itu saja.. Saat itupun tiba. Mobilku
berhenti di depan pintu lobby utama hotel megah itu.
Aku turun ragu-ragu. Aku bisa merasakan jantung ini
berdebar kencang. Bodoh sekali.Tidak lama Stanley
sudah berdiri di sampingku. Ia menggandeng
tanganku.. mau tidak mau kulangkahkan kakiku.

Grand ballroom itu sudah cukup ramai. Aku memang
sengaja datang agak sedikit terlambat. Dengan ada
banyak orang, aku berharap Jason tidak melihatku.
Aku yang ingin melihatnya duluan. Dan perkiraanku
tak meleset..

Aku menangkap sosoknya di tengah kerumunan orang.
Ia sibuk berjalan sambil sesekali berhenti dan
berbicara dengan beberapa pegawai hotel, tampaknya
memberi instruksi kepada mereka. Terkadang ia juga
menyapa tamu dan berbicang sebentar. Aku tidak bisa
melihatnya wajahnya begitu jelas. Ia tidak banyak
berubah.. Ia masih tampan seperti dulu. Tubuhnya
masih tegap dan tinggi menjulang. Sosok pria yang
benar-benar sempurna. Aku bisa merasakan diriku
sendiri bergetar saat itu. Aku terus mengikutinya,
dan lupa bahwa aku telah meninggalkan Stanley
sendirian.

Mataku terus terpaku pada dirinya sampai aku
melihat sesuatu yang lebih menarik perhatianku.
Sarah.. Ia melambaikan tangannya padaku,
mengisyaratkanku untuk datang ke sana. Ia berdiri
tak jauh dari Jason. Aku tak ingin Jason melihat
Sarah jadi aku buru-buru menghampiri wanita itu.

"Kita bicara di luar saja.."
Tanpa menunggu jawabannya, aku langsung melangkah
ke luar. Aku memilih tempat yang agak sepi, berhenti
dan membalikkan tubuhku. Ia tepat berada di
hadapanku. Tersenyum.. Senyumnya terlihat begitu
tulus.. Namun pandangan matanya kosong, hampa..

"Kenapa kamu tidak menghampirinya? Kenapa hanya
memandanginya dari jauh?" tanyanya seraya berjalan
mendekatiku lalu menyandarkan dirinya di kaca yang
menjadi pembatas gedung ini dengan dunia di luar
sana.

"Kamu sendiri?" tanyaku.
"Aku memang tidak akan menghampirinya.." ia
meneguk minumannya.
"Lalu untuk apa kamu ke sini?" tanyaku antara
kesal dan bingung.
Ia tersenyum. "Untuk melihat kebahagiaan kalian.."
Ia menatapku tepat di bola mataku. Nada suaranya
begitu tenang..
"Aku nggak ngerti.."
"Aku tahu kalian berdua saling mencintai. Aku
ingin melihat kalian bersatu.." kali ini ia
mengucapkannya begitu pelan.. begitu ragu-ragu.

"Kamu jangan membohongku lagi.." aku mendesah
kesal, muak dengan sikap pura-puranya.
"Aku tahu kamu pasti membenciku.. Kalau tidak
begitu, kamu tidak mungkin kemari kan?" ucapnya
penuh arti.
Aku tersentak. Aku menatapnya dengan tatapan penuh
tanda tanya. Permainan apa lagi ini?
"Maafkan aku.. Hanya itu satu-satunya cara untuk
membuatmu mengambil keputusan. Apakah kamu tidak
bosan hidup dengan ketidakpastian?" sambungnya tanpa
menunggu jawabanku.

Aku berupaya mencerna kata-katanya. "Apa untungnya
bagimu?" tanyaku akhirnya.
"Tidak ada.. Hanya merugikanku.."
"Lalu kenapa kamu melakukannya?"
"Stanley.." jawabnya singkat.







"Stanley? Jadi ia tahu semua permainanmu ini?"
kekecewaan terbersit dalam hatiku.
"Kamu tahu Ca.. Kalau aku mau memiliki Jason, aku
bisa mendapatkannya dari dulu, bahkan sebelum ia
bertemu denganmu.. Aku tidak perlu menunggu saat
seperti ini.."

Ia tak memperdulikan pertanyaanku.. Ia
membalikannya tubuhnya, menatap ke luar. Gerimis
tampak menyirami kota Jakarta.

"Tapi aku tidak pernah melakukannya karena aku
tahu aku tidak pantas memilikinya setelah apa yang
aku lakukan padanya..Bahkan setelah pertunangan itu
dibatalkan sekalipun."

"Apa yang terjadi waktu itu?"
"Tunanganku menghubungiku. Ia mengatakan, ia tidak
bisa menikahiku karena ia mencintai perempuan lain..
Aku marah sekali. Bukan marah karena perempuan lain
itu tapi karena ia memberitahuku di saat aku telah
meninggalkan dan menyakiti Jason.. Aku tidak pernah
mencintai tunanganku.. Melihatnya pun aku belum
pernah.. Aku melakukan semua itu dulu semata-mata
karena orang tuaku yang pernah berhutang budi kepada
orang tuanya. Seperti cerita Siti Nurbaya ya?" ia
tertawa sinis.

"Semenjak itu, aku hanya bisa menyesal. Bertemu
dengan Jason pun rasanya aku sudah tidak punya muka.
Lalu aku dengar cerita tentangmu.. Sejujurnya, aku
iri setengah mati sewaktu tahu Jason melamarmu. Aku
ingin menghancurkan hubungan kalian.."

"Jadi kamu yang mengatur agar Jason mendengar lagi
kabar tentangmu?" tanyaku geram.
Ia mengangguk. "Awalnya aku puas.. Aku berhasil
membuat Jason teringat akan diriku, membuat
keyakinannya goyah.. Namun aku salah.. Ia malah
semakin menyadari cintanya sewaktu ia kehilanganmu..
Aku kalah.." suaranya terdengar parau.

"Lalu bagaimana kamu bisa datang ke San Fransisko
dan bertemu denganku? Apakah ada hubungannya dengan
Stanley?" tanyaku cepat. Entah kenapa, aku lebih
ingin tahu tentang hubungan Stanley dengan semua hal
ini ketimbang masalah Jason..

Ia menggeleng. "Awalnya itu kebetulan.. Tampaknya
kita memang berjodoh, Bianca.. Kita memang harus
bertemu.. Kalau tidak, aku tidak akan pernah merasa
setenang ini melepaskan Jason.."

"Kapan Stanley tahu tentang ini?"
"Malam ketika ia menjemputku untuk makan di
rumahmu."
Aku menghampiri Sarah. Berdiri di sampingnya, kami
berdua sama-sama menatap ke luar.
"Saat itu aku baru merasa pasti bahwa kamu adalah
Bianca yang dicintai Jason. Ketika mengetahuinya,
aku rasanya ingin menghilang saat itu juga. Aku
tidak ingin bertemu denganmu. Cemburu, marah, sedih
dan perasaan bersalah semuanya bercampur aduk.." ia
mendesah.

"Lalu?"
"Lalu Stanley mengucapkan sesuatu yang merubah
semuanya.."
"Apa itu?"
"Mencintai seseorang tidaklah cukup.."
Ia berhenti sebentar, memainkan gelasnya lalu
meneguk minumannya lagi.
"Cintaku takkan pernah membahagiakan Jason..
Justru dengan membantunya menjadi bahagia, aku bisa
buktikan cintaku padanya, sekalipun ia tidak pernah
tahu.." suaranya mulai bergetar.

"Karena aku begitu mencintainya.. Hati ini terlalu
sakit.. Maafkan aku Bianca.. Aku tadinya berjanji
pada diriku untuk memberi kalian berdua senyum
restuku tapi aku rasa aku tak akan bisa.. Tapi
percayalah.. aku rela.." ia mengusap air mata dari
pelupuk matanya. Aku bisa melihat cintanya yang
tulus.. Penderitaan yang mengalir bersama air
matanya..

Kesedihan seorang perempuan yang tidak bisa
bersama pria yang ia cintai karena sesuatu yang
bukan kesalahannya.. Kesedihan seorang perempuan
yang rela menyerahkan orang ia cintai demi
kebahagiaan orang tersebut.. Kesedihan seorang
perempuan yang selama ini hidup dalam penyesalan,
bahkan sampai saat ini sekalipun.. Mampukah aku
mencintai Jason seperti Sarah mencintainya?

Mampukah aku melepaskan Jason di depan mataku
sendiri seperti yang ia lakukan? Mungkin benar,
mencintai seseorang tidaklah cukup..

"Stanley benar.. Ia yakin kamu akan bangkit dan
memperjuangkan kembali cintamu.. Itu juga sebabnya
ia mencintaimu, karena keberanian dan kesetiaanmu..
walaupun justru itu yang membuatnya menderita.."
ucapan Sarah kali ini benar-benar seperti sambaran
petir di tengah-tengah bunyi hujan yang terdengar
samar-samar.



"Apa katamu?" tanyaku seolah tak percaya akan apa
yang baru saja kudengar..
"Kamu tidak sadar selama ini Stanley mencintaimu?"
Sarah menatapku tidak mengerti.
"Ia sendiri yang mengatakannya kepadamu?"
"Tanpa kata-kata pun aku tahu ia mencintaimu..
Pengorbanannya, meskipun senyap, bagiku lebih jelas
daripada bunyi guntur sekalipun.."

Sarah menunggu komentar dariku namun bibirku tetap
terkunci rapat.
"Ia yang mebuatku yakin bahwa aku bisa melewati
semuanya.. Melihatnya tersenyum dan matanya berbinar
ketika membayangkan dirimu bisa berbahagia dengan
Jason terlihat begitu tulus.. Tapi aku tahu, hatinya
pasti sakit.. Lebih sakit dariku.. Karena
pengorbanannya jauh lebih banyak.. Karena sedikitpun
ia tidak pernah merasakan cintamu.. Karena ia harus
terlihat lebih tegar darimu sementara penderitannya
jauh lebih berat darimu.. Karena ia tidak bisa
menceritakannya kepada siapapun.. Karena.."

"Hentikan.. kumohon.. hentikan.." Aku berbalik
memunggunginya.
Aku menutup mulutku, menahan isakan tangis yang
sebentar lagi akan meluap.. Air mataku mulai
mengalir.. Stanley.. Mengapa selama ini aku tidak
menyadarinya? Ia mencintaiku..Semua kata-kata
hiburannya, semua senyumnya, semua
dukungannya..Semuanya ia berikan dengan
penderitaannya sendiri sebagai gantinya..Dan aku?
Sedikitpun tidak pernah memperdulikan perasaannya..
Sedikitpun tidak pernah kuhargai semua itu..

Aku telah buta.. buta karena pikiranku hanya
terpusat kepada Jason seorang. Aku menutup diriku..
Aku tidak menyadari ada seseorang yang lebih berarti
yang telah dihadirkan Tuhan untukku..

Sekarang ia di mana? Aku harus mencarinya. Aku
mengangkat kepalaku, bersiap melangkah mencari
Stanley.
Namun sosok yang berdiri di depanku menghentikan
niatku. Jason.. Ia berdiri. Terpaku menatap
kehadiranku dan Sarah.
Aku menatapnya, sama kagetnya.. Namun matanya
tidak hanya menatapku seorang..
Aku melirik ke arah Sarah. Ia berdiri diam, aku
melihat ia memasang wajah kerasnya lagi, seolah
tidak terpengaruh oleh kehadiran Jason di hadapan
matanya. Namun aku tahu, tubuhnya sedikit gemetar..

"Sarah? Bianca? Bagaimana kalian bisa di sini?"
Jason mendekati kami, menatap kami bergantian dengan
padangan kebingungan yang tidak bisa diungkapkan.

Bagiku ucapan Jason sudah menunjukkan siapa yang
sebenarnya ia nanti.
Dugaan Stanley dan Sarah salah..
Aku yang benar.. Ia masih mencintai Sarah.. Aku
tahu tatapan matanya.. Aku tahu ke mana ia
sebenarnya ingin melangkahkan kakinya..

"Pergilah Ca.. Jangan sia-siakan pengorbananku dan
Stanley.. Aku mohon.. cepatlah pergi sebelum aku
menangis.." bisik Sarah lirih..

Aku tak menjawab ataupun beranjak dari tempatku..
Dalam keheningan yang sesaat itu, aku membuat
suatu keputusan dalam hatiku..
Aku meraih tangan Sarah, menariknya dan memaksanya
berjalan mendekati Jason.
Ketika Jason sudah tepat berada di depanku, aku
meraih tangan pria itu.
Sekilas aku teringat sentuhan-sentuhan kami dulu..
Buru-buru aku hilangkan bayangan konyol itu. Lalu
aku menaruh tangan Sarah dalam genggaman tangan pria
itu..

"Jason.. Tampaknya percintaan kita dulu
benar-benar adalah suatu kesalahan.. Yang
benar-benar kamu cintai adalah perempuan ini.. Ia
juga mencintaimu.. Selama ini ia hidup dalam
kesedihan yang tidak pernah kamu tahu.. Ia berhak
untuk kau cintai.."

Aku menggerakkan tanganku ke leher belakangku,
melepaskan kalung yang sudah tiga tahun ini
menemaniku. Di kalung itu tergantung cincin
pertunangan yang selama ini aku simpan, yang selama
ini mengikat dan menahan hidupku..

"Aku kembalikan ini.. Sebagai tanda bahwa semua
ini benar-benar berakhir.." Aku menyelipkan kalung
itu di sela-sela tangan Sarah dan Jason.

Lalu aku melangkah pergi.
"Bianca!" panggil Jason.. Aku berhenti dan
menengok ke arahnya.
Ketika melihat kedua mata itu, ingin rasanya aku
berlari kembali..memeluknya.. dan menciumnya dengan
segenap kekuatan yang aku masih miliki..

"Aku tak mengerti apa yang terjadi.. Namun..
Terima kasih.." ucapnya tulus.
Sejujurnya aku tidak mengharapkan ia mengucapkan
kata-kata itu.
"Aku berterima kasih karena kamu memudahkanku
untuk memilih antara dirimu dan dirinya.. Tapi kau
harus tahu, kamu benar-benar ada dalam hatiku,
bahkan sampai sekarang.. Aku tak akan menahanmu kali
ini.. Aku tahu kamu telah menemukan seseorang yang
lebih baik dari diriku.. Seseorang yang cintanya tak
pernah terbagi.." sambungnya.

Aku tersenyum dan mengangguk pelan. Aku menatapnya
dalam-dalam, seolah-olah aku tidak akan menatapnya
dengan tatapan yang sama lagi..Kenangan-kenangan
kami bergantian terlintas dalam benakku, begitu
jelas.. Perkenalan kami.. Pertunangan itu.. Dan
perpisahan yang seharusnya mengakhiri semuanya,
namun yang aku takut untuk akhiri..

"Terima kasih karena telah mengenalkanku pada
cinta.." sahutku pelan.
Jason menatapku dengan tatapan yang hanya kami
berdua yang mengerti. Kami sama-sama tahu, kenangan
antara kami biarlah tersimpan dengan baik di tempat
yang terbaik.. Karena kami sama-sama belajar dari
situ..

"Bianca.." kini Sarah memanggilku "Kenapa?"
tanyanya dengan mata berkaca-kaca.
Aku memalingkan tatapanku kepada perempuan itu,
meyakinkan diriku bahwa menyerahkan Jason kepadanya
adalah tindakan yang benar.. "Kamu yang mengatakan
alasannya padaku tadi.. Terima kasih untuk membuka
mataku..Aku harap kalian bahagia.."

Aku tersenyum sekali lagi kepada mereka berdua
lalu aku membalikkan tubuhku.
Aku sama sekali tidak menangis. Sebaliknya, aku
merasa ada suatu beban yang lepas dari diriku.. Aku
merasa seperti dilahirkan kembali.. Bebas dari
kekangan dan bayang-bayang masa lalu..Dan aku merasa
bangga karena aku telah membuat diriku begitu
berarti bagi seseorang yang pernah aku cintai dengan
setiap tetes darah ini..

Dan juga bagi perempuan yang mengajarkanku arti
cinta yang sebenarnya.





Setelah memberi selamat kepada Rosa dan suaminya,
aku mengelilingi ruangan pesta ini untuk mencari
Stanley. Aneh, batang hidungnya tidak kelihatan
padahal ia selalu bisa menemukanku sekalipun kami
terpisah..

Semakin aku mencarinya, semakin aku takut
kehilangannya. Dan aku semakin menyadari betapa aku
membutuhkannya..Ketika sampai di rumah, aku
buru-buru naik ke kamar Stanley. Kamarnya kosong..

Panik, aku langsung mencari mama untuk menanyakan
tentang hal ini..
"Apa? Ia sudah kembali ke San Fransisko?" tanyaku
tidak percaya mendengar jawaban mama. "Jam berapa
pesawatnya?"
"Jam sembilan.."
Aku melihat jam tanganku.. Terlambat.. Seandainya
aku kembali lebih cepat dari pesta itu mungkin aku
masih bisa mengejarnya.. Tapi bagaimana mungkin aku
pulang sebelum meyakinkan diriku bahwa ia
benar-benar sudah tidak ada di pesta tersebut?

"Kalau begitu aku harus cek, flight ke San
Fransisko berikutnya jam berapa.." gumamku
"Apa maksudmu? Kamu mau kembali ke sana?" Kini aku
mendengar papaku angkat bicara.
"Iya pa.. Aku harus menjelaskan semuanya
kepadanya.."
Lalu aku menceritakan semuanya kepada papa mama.
"Lalu.. kamu yakin kamu mencintainya? Tampaknya
kamu masih mencintai Jason.." tanya papa setelah
mendengar ceritaku.
"Pa.. Cinta tidaklah cukup.. Cinta bisa pudar
setiap saat.. Tapi aku, aku benar-benar butuh
Stanley dan itu tidak akan berubah untuk selamanya..
Aku rasa, itu lebih kuat daripada cinta sekalipun.."

Papa dan mama terdiam. "Jadi kamu akan kembali ke
San Fransisko dan meninggalkan kami lagi?" tanya
papa lagi.
"Aku belum tahu pa.. Tapi aku mohon.. Biarkan aku
pergi.. Biarkan aku bahagia sekali lagi.. Aku tak
mau melepaskan kesempatan ini.."

Mereka terdiam lagi.
"Biarkan ia pergi.."
Aku menatap mama tidak percaya. Sungguh tidak
disangka mama akan berbicara seperti itu.
"Kamu jangan sembarangan bicara.. Kamu tahu
bagaimana jadinya kalau ia tidak kembali?" Papa juga
kaget mendengar ucapan mama barusan.

"Itu tandanya ia menemukan kebahagiaannya di
sana.. Biarkanlah..
Bukankah kebahagiaan dia adalah yang terpenting
bagi kita? Lagipula.. Aku percaya pada Stanley."
Jawab mama.
Aku memandangnya terharu..
Sama sekali tidak ada penyesalan yang kurasakan
sewaktu aku menginjakkan kakiku lagi di kota ini..
Rasanya baru kemarin aku mengucapkan selamat tinggal
dan bersedih karena aku akan merindukan setiap
pelosok dari kota ini.. Ternyata aku kembali lagi..
Bahkan lebih cepat daripada yang aku duga..

Tidak sabar, aku segera mencari Stanley. Ketika
aku sampai di rumahnya, ia tidak ada di sana..
Setengah panik dan tidak sabar, aku pergi ke café
tempat kami biasa mampir untuk ketemuan saat break
jam kantor.. Ia juga tidak di sana..

Putus asa, kuputar otakku, mencoba mengira-ngira
di mana gerangan ia berada..
Karena tak kutemukan juga jawabannya, aku
memutuskan untuk mendinginkan dulu kepalaku. Mungkin
aku terlalu panik dan tergesa-gesa sehingga tidak
bisa berpikir dengan baik.

Kalau hatiku sedang kacau seperti saat ini, aku
akan pergi ke pantai. Melihat lautan air tanpa batas
seperti memberiku kekuatan untuk melanjutkan hidupku
dan yakin bahwa hidupku masih terbentang luas..

Jadi saat ini, pantai adalah satu-satunya tempat
yang terlintas di benakku..





Matahari bersinar terik. Aku melepaskan sepatuku
dan menjinjingnya. Aku suka merasakan pasir-pasir
lembut ini masuk ke sela-sela jariku.. merasakan
kakiku tertimbun olehnya.. Begitu nyaman, serasa
berbaur dengan alam.. Deburan ombak tedengar seperti
musik yang seirama dengan langkah kakiku.. Aroma
yang kurasakan juga begitu menenangkan..

Entah kapan terakhir kalinya aku merasakan
kedamaian seperti ini.. Tersirat dalam benakku,
seandainya pun aku tak akan pernah bertemu dengan
Stanley lagi, aku tak akan menyesal telah kembali ke
kota ini..

Ketika aku sedang menikmati kedamaian ini, aku
menangkap sosok dirinya.. Dia yang dari tadi aku
cari..
Ia tengah berdiri menatap ke arah laut dengan
tangan dimasukkan ke kedua saku celananya.
Aku berlari.. sekuat yang aku mampu.. Tak ada
suara keluar dari mulutku.. Aku tak sanggup lagi..
Aku hanya ingin meraihnya dan tak melepaskannya
lagi.. Itu saja.. Ia terkejut sewaktu aku
memelukanya dari belakang. Ia menoleh ke belakang
sedikit.

"Bianca?" tanyanya tak percaya.
"Aku mencarimu ke mana-mana.. Bagaimana kamu bisa
ada di sini?"
"Karena ada seseorang mengatakan padaku dulu,
apabila aku merasa kacau, aku harus pergi ke pantai
dan aku akan tenang.. Aku selalu tertawa
mendengarnya. Lalu aku katakan padanya, dia
memiliku.. Ia tidak perlu ke pantai.. Namun ternyata
ia benar, terkadang ada saatnya kita perlu sendiri
di saat kita sedih.."

Aku tersenyum mendengarnya. "Kenapa kamu tidak
mencari orang itu saat kamu sedih? Bukankah orang
itu juga selalu ada di sampingmu ketika kamu
membutuhkannya?"

"Karena aku tidak mau mengganggu kebahagiannya.."
Aku melepaskan pelukanku. "Tidak tahukah kamu
bahwa ia akan sedih kalau ia mendengarnya?"
Ia berbalik menatapku. "Mengapa?"
Aku membalas tatapannya. Aku rasa, aku tak pernah
menatapnya dengan perasaan seperti ini sebelumnya..
Ada yang berbeda.
"Karena baginya, hal yang paling membahagiakan
adalah membuatmu tersenyum saat kau sedih..Sama
seperti yang selalu kamu lakukan baginya.."
jawabku.. kupandangi dalam-dalam kedua matanya..

Ia memalingkan pandangannya seolah pandanganku
menusuknya. "Lupakanlah..
Ia sudah berbahagia dengan orang yang lebih
tepat.. Bagianku hanya sampai di sini.."
Ia melangkahkan kakinya, beranjak meninggalkanku.
"Stanley.." panggilku lirih.. "Aku kembali
untukmu.."
Ia menghentikan langkahnya. "Bagaimana dengan
Jason?" ia tetap tidak melihat ke arahku.
"Aku membiarkannya bersama dengan perempuan yang
lebih mencintainya.."
"Bukankah kamu mencintainya melebihi apapun juga?
Jangan bohong Bianca, aku melihatnya sendiri.."
Aku berjalan ke arahnya lalu berdiri tepat di
hadapannya. "Itu salahmu.."
Ia menatapku tak mengerti.
"Kamu yang membuatku mencintainya.. Kamu yang
mendorongku untuk selalu mengingatnya.. Kamu yang
menyebabkanku terobsesi olehnya.. Karena kamu, aku
tidak pernah menyadari bahwa yang aku butuhkan
adalah kamu.. bukan dia.." kata-kata itu keluar
begitu saja dari bibirku..

Kami sama-sama terdiam. Aku menunggu ia
mengucapkan sesuatu namun tidak ada satu kata pun
keluar dari bibirnya. Setelah menunggu cukup lama,
ia memelukku. Kali ini, jantungku berdebar. Ini
bukan lagi pelukan persahabatan.. Aku bisa merasakan
cinta.. Kubalas pelukannya..

"Jangan pergi lagi Stan.." bisikku.
Ia membelai rambutku lembut. "Tidak akan Ca.. Aku
akan mencintaimu sampai air di pantai ini
mengering.."





Malamnya, aku dan Stanley merayakan kebersamaan
kami.. Kali ini bukan sebagai sahabat tapi sebagai
sepasang kekasih.. Sama seperti dulu, ia yang masak
sementara aku hanya merapikan meja makan.Ketika kami
hendak mulai makan, ia memutar sebuah lagu seperti
biasa.

"Ca, aku sering mendengar lagu ini sewaktu aku
bingung tentang hubungan kita, sewaktu aku bingung
akan diriku sendiri.. Dulu aku ingin sekali
memutarnya sewaktu kita makan bersama namun aku
terlalu takut kamu akan tahu

perasaanku maka aku selalu mengurungkan niatku..
Sekarang, aku ingin kamu dengar lagu ini.."

2 a.m. and the rain is falling
Here we are at the crossroads once again
You're telling me you're so confused
You can't make up your mind
Is this meant to be
You're asking me

But only love can say - try again or walk away
But I believe for you and me
The sun will shine one day
So I'll just play my part
And pray you'll have a change of heart
But I can't make you see it through
That's something only love can do

In your arms as the dawn is breaking
Face to face and a thousand miles apart
I've tried my best to make you see
There's hope beyond the pain
If we give enough, if we learn to trust

I know if I could find the words
To touch you deep inside
You'd give our dream just one more chance
Don't let this be our last good-bye

Aku tidak bisa mengucapkan apa-apa. Bibirku
tersenyum namun mataku basah..Entah kapan terakhir
kalinya aku merasa seperti ini.. Mungkin dulu,
ketika aku bersama dengan Jason.. Tidak pernah aku
menyangka akan merasakan perasaan ini lagi.

Ia meraih tanganku dan mengecupnya lembut.
"Welcome to my life, Bianca Fransesca Prananto.."
Kami berpelukan lagi. Lama sekali, seolah ingin
menebus waktu yang terbuang sia-sia selama ini..
Waktu yang sebenarnya bisa kami gunakan untuk
berbagi cinta namun malah kami gunakan untuk
sama-sama menyakiti diri kami.

Tampaknya, aku tidak hanya sekedar
membutuhkannya.. aku telah jatuh cinta..walau aku
tidak pernah menyadarinya sampai detik aku hampir
kehilangan dirinya..

Kata orang, cinta yang sejati adalah ketika itu
tumbuh perlahan.. Cinta yang tidak hanya beralaskan
nafsu.. Cinta yang muncul karena kebersamaan..

Jadi kurasa, aku telah menemukan cinta sejatiku..
Ketika kau merasa bahwa cinta saja tidaklah cukup,
korbanlah cinta itu sendiri.. Maka kau akan mendapat
sesuatu yang lebih berharga.. Kebahagiaan



-----------------------------------------------------------------

THE END




^^~


-EveLy-

1 komentar:

LiLy mengatakan...

baguz cerita nya..

terharu...

hikzZ..